Ombak yang berlinang mencuci jiwa dan ragaku di malam
kamu pergi akhirnya kering. Ku putuskan agar setiap bulirnya menjadi berlian
untuk memperkaya dewasaku. Kali ini pagi yang datang mengetuk pintu (bukan lagi
kamu). Mataku bangun dari istirahat yang lebih terasa seperti lima menit dari
pada enam jam. Bayangan di kaca menertawaiku keras karena yang ia liat adalah
sebuah pasang mata yang sembab seperti digigit walang sangit!
Hatinya muram sekali, hampir terasa malam dari pada pagi,
apa karena tirai jendela masih tertutup? Lemah badan ini seperti lunglai dalam
ganja, tak bisa kemana-mana atau tak mau kemana-mana? Matanya yang ruam itu
seperti takut untuk beranjak, takut bertemu kekasih yang pergi tanpa pamit itu.
Tapi kewajiban bukannya harus ditepati seperti janji? Jadi ku putuskan untuk
pergi dan meninggalkan zona amanku (seperti kamu meninggalkan zona nyamanmu;
aku).
Sialnya, langit bercermin kepada hati hingga pagi
bermimik malam dalam mendung. Ada apa dengan dunia ini!? Seakan mereka semua
berkomplot untuk menjoroganku kedalam jurang gelap tanpa mau aku kembali ke
permukaan. Bisikkan kecewa membuatku terlena hingga tak kuasaku menahan rasa di
pinggir jalan menuju kampus, menangis terisak-isak seperti wanita gila yang
biasanya ku papas sedari bioskop bersamamu. Mungkin inilah yang dirasanya
sampai-sampai jadi gila!
Ku jalani saja hari ini tanpa keinginan dan harapan,
sampai seorang teman berkata “untuk apa lemah kalau bisa kuat? Toh hari yang buruk bukan berarti
hidupmu buruk kan? Tak selamanya
sakit ini akan menetap,” dan tersentaklah diriku hingga dibawaku ke awal hari
saat bangun pagi tadi. Tiba-tiba ku ingat langitnya cerah, biru menawan, tidak
buas tapi bersahabat. Anginnya membuai badan lelah ini keluar dari zona aman. Setiap
individu masih hidup dalam kisahnya dan dunia masih berputar seperti biasa.
Hidup masih berjalan meski kamu dan aku berubah, membuatku sadar bahwa ini
semua bukan kiamat.
Mataku tiba-tiba sembuh dan terbuka lebar pada karunia
Ilahi yang penuh rahasia. Awam sepertiku tak akan bisa melihat indahnya ‘cobaan’
jika tidak memilih untuk merasakannya. Namun seperti takdir bertemu dengan
ucapan kawan seperti itu, hingga akhirnya ku temukan syukurku pada hari baru ini.
Memang rasanya berat mengalami perubahan dari rutinitas dua tahunku, tapi baru
bukan berarti buruk, dan baru akan menjadi lama di suatu masa yang datang. Jadi
ku rasa memang pantas untukku lemah dan sedih, memeluk erat asa hari ini, namun
bukan artinya aku menyerah dengan keberadaan.
Rasa sakit dan kecewa memang cenderung memakan kesadaran
sehingga tenggelam dalam waktu, membiarkan rasa itu menjadi parasit yang
membuat induknya mati membeku. Tapi ku pilih untuk maju, dan bukan mati beku
dalam tanya “kenapa ini semua terjadi?” Dengan hati lemah yang bertekat menjadi
kuat di suatu saat, aku langkahkan kakiku menghadapi hari baru tanpa lagi rasa
takut. Ketika parasitku kembali menggerogoti jiwa, ku tatap langitnya dan
batinku berbisik “syukur kepada Allah atas rasa sakit ini,” karena pahamku
berkata bahwa dari benih sementara akan tumbuh manusia yang lebih tegar dan
kaya. Syukur kecil yang ku bisik membuat rumput terlihat lebih hijau dan
kicauan burung merdu menenangkan. Mungkin kadang, kerikil kecil seperti ini
dibutuhkan untuk ingat siapa yang ada di Atas sana dan berhenti iri hati pada
rencana dan angan.
Aku bersyukur kamu pergi tanpa pamit.
Tertulis: Hari satu.