My photo
Currently seeking therapy through literature. Wrote a novel once, Eccedentesiast (2013), and will proceed on writing casually. Don't take these writings seriously, don't let it question yourself.

Monday, March 17, 2014

Semesta Alam

Kita di satu bumi pada suatu nanti, akan juga pergi. Jauh-jauh nanti, kita pergi ke suatu hari tanpa henti. Tanpa jalan, tanpa waktu, tanpa tapak, tanpa layang.

Di satu bumi ini, kita bertemu. Aku seorang hamba dengan arwah penuh kasih, bertatap mata dengan seorang pujangga yang bangga. Ramah, manis, candamu meletupkan kembali pelangi yang hampir bobrok ditinggal mati matahari. Senyummu hangat dan matamu cokelat. Kamu membuat rumah di hatiku, yang kuncinya kamu berikan dalam percaya padaku. Katamu; jika kamu ingin pulang, cukup saja kamu mengetuk dan pasti akan aku bukakan. Dengan percaya diri kamu membuat aku tersenyum gembira lagi. 

Di satu galaksi ini, di mana bumi berputar dan berotasi, aku mencintaimu. Rumah yang telah kamu bangun dalam hatiku sudah aku hias dengan tumbuhan hijau dan bunga-bunga wangi. Kapan saja kamu pulang, aku bisa melihat senyum diatas lelah malammu saat mata kita bertemu. Hangat pelukan membuat riya. Ingin aku sebar luaskan rasanya perutku yang bergejolak ceria setiap saat kamu mengetuk pintu, kembali ke rumah. Diantara semua ketidak pastian, setiap pagi aku membuka mataku dengan satu janji dan pasti bahwa kita hari ini masih bisa bersama. Biarkan aku mengalahkan takdir, dengan pinta dan doa, karena aku ingin kita berumah, bukan bercerai.

Di satu kumpulan galaksi, dimana semesta akhirnya terbentuk dalam segala kemungkinan, aku hanya menginginkanmu; seorang pujangga yang bangga, ramah dan manis, yang aku kenal sejak kita bertemu di suatu kehidupan di satu bumi. Ingatku, di malam yang terang dengan bubuk mesiu para rasi bintang, kita bertemu di bawah senyuman rembulan dalam cium manis romansa muda. Dua sejoli yang dibataskan umur dan gunjingan orang, tidak lagi perduli gilanya dunia selain kita berdua. Pergi, hilang dan pulang lagi dan lagi kamu kerumah yang sama, tanpa rasa bosan dan senyum yang indah. Tidak sirna hangatnya pelukan senyummu sepulang kerja lelah dalam kelam. Arung jeram buatan kita di halaman belakang tidak lagi berpotensi tsunami, tetapi telah menjadi tenang seperti kolam renang milik tetangga. 

Di satu kumpulan semesta dimana akhirnya satu dimensi terbentuk dalam tiadanya waktu, aku ingin menghabiskan moral dan materil hanya denganmu. Entah ada berapa planet yang menyerupai bumi dengan ratusan kehidupan yang mirip manusiawi, 
atau berapa galaksi dimana ribuan bumi berotasi, 
dan berapa ratus ribu semesta dan jutaan dimensi, 
tanpa adanya batas waktu lagi, aku masih akan menyimpan kunci rumah ini. Semua yang kita bangun dari fondasi, tidak ingin aku runtuhkan. Inginku simpan kita berdua dan bahagia ini tanpa adanya batas waktu lagi, di kejauhan yang tanpa henti. Tanpa jalan, tanpa waktu, tanpa tapak, tanpa layang. Nanti kita bertemu lagi, di kehidupan yang baru lahir, menjadi dua sejoli yang berbeda dengan rasa yang sama. Dengan rasa yang tak mengenal hidup atau mati.

Tapi sekarang, cukup aku mencintaimu di satu bumi pada detik-detik ini, yang nanti juga akan pergi, ke suatu hari yang tanpa henti.

1 comment:

Unknown said...

Haah keren :3 'pujangga yg bangga'