Dia bilang biru itu warna harapan baru, sementara violet dengan campuran
pink muda adalah warna ketidaktenangan. Warna yang menunjukkan ketakutan, dan
segala serba-serbi yang kemirip-miripan. Sebenarnya itu aku lukis tanpa sadar,
benar hanya karena aku menyukai gradasi warna tersebut, biru, biru-ungu, violet
dan pink muda.
Dia bilang, gestur objek yang aku gambar menunjukkan keringkihan dalam ego,
seperti burung dalam sangkar saja. Padahal tidak dalam niatanku agar lukisan
dalam kanvas ini meneriakkan auranya seperti yang dia bilang.
Dia menyatakan bahwa pada saat jemari lentik ini menari diatas kanvas itu, aku sedang
dalam kondisi yang ringkih, lelah dan khawatir. Dia katakan bahwa aku sedang
menunggu sesuatu baru yang lebih baik dalam hidup ini, seakan aku sedang
berharap akan sesuatu untuk terjadi.
Dia menyatakannya, dengan ringan, seakan dia adalah aku untuk
sementara waktu itu disaat aku sedang menangis dengan kanvas. Seakan dia itu
Tuhan, serba tahu-menahu tetek bengek yang aku rasa saat aku melemparkan segala
warna yang aku suka dalam kekosongan kanvas putih itu.
Tetapi memang benar, benar yang sebenar-benarnya semua yang dengan
entengnya dia sebut. Bahwa hasil analisis terawangan dia,
terhadap aku, itu benar yang sudah pasti adalah kebenaran yang tidak bisa
dipungkiri.
Lagi-lagi dia bilang, bahwa saat seseorang melukis, sadar atau tidak
sebenarnya batin yang mengendarai semuanya, mulai dari pemilihan objek, warna,
gestur, garis lukis. Bukan otak, bukan sekedar rasa, tetapi apa yang
benar-benar di terpuruk di dalam lubuk kalbu yang paling, paling,
paling dalam.
Bebas, kanvas putih yang sudah pasrah, rela saja mau diaperkosa oleh warna-warna muda yang ternyata memiliki makna.
paling dalam.
Bebas, kanvas putih yang sudah pasrah, rela saja mau diaperkosa oleh warna-warna muda yang ternyata memiliki makna.
No comments:
Post a Comment