My photo
Currently seeking therapy through literature. Wrote a novel once, Eccedentesiast (2013), and will proceed on writing casually. Don't take these writings seriously, don't let it question yourself.

Wednesday, February 27, 2013

Apa?

Perhatikan kalimat-kalimat berikut:

Hidup ini fana,
Cinta adalah sebuah kebohongan
Kepastian adalah ketidakpastian
Ketidakpastian adalah kepastian
Kematian adalah sebuah janji.

Apakah kita semua, sebagai umat manusia yang berakal budi, hanya berpura-pura untuk tidak mengetahui apa-apa? Atau apakah kita semua dengan begitu saja percaya? Apa yang membuat kita percaya? Apa yang mengatur pikiran kita? Yang mendorong pemikiran ini berjalan begini saja, mengikuti arus waktu dan perubahan peradaban. Entah apakah kita hidup dalam kemunafikan atau hanya memang... naif. Seringkas itukah? 

Aku berjalan di kota megah mewah Jakarta ini, dibawah sengitnya matahari yang memancarkan gas dan puting beliung api dari jauh nun disana. Mataku hanya terpana pada jalanan yang ramai ini, berusaha menghindari badan-badan alien asing yang berjalan bersamaku, atau berlawanan arah.  Pikiranku menjelajah dengan bebas ke seluruh pintu-pintu hidup yang ada, mulai dari sekolah, pertemanan, cinta, kepercayaan. Pertama semuanya sebatas di permukaan saja, serba ringan, seperti mengambang diantara lautan yang membentang bebas menjelajah dan mendominasi dunia. Semakin aku berjalan menjauh dari tempat mula aku berawal, semakin dalam pemikiran yang ada. 

Aku berhenti sejenak di sebelah kios dan membelikan diriku sendiri segelas air putih yang segar diantara keusangan siang ini. Aku mengamati muka-muka asing, mencari muka yang aku kenal diantara jutaan alien ini. Aku melihat dan menyaksikan berbagai jenis ekspresi dan kata-kata yang terucap dari mulut mereka. Aku menjadi saksi bisu saja, melihat kerumunan orang yang berlalu lalang di depanku mengurus urusan pribadi mereka, mungkin bahkan mengurus urusan orang lain dan lalu menjadi juri untuknya. Terkadang mereka berbisik "kurang kerjaan banget si itu ngurusin hidup si ini" dan siapa kamu untuk menilai kehidupan mereka? Ironis. 

Aku melihat sebuah pasangan yang berjalan dengan gemulai dalam romantisme, seakan dunia milik mereka sendiri. Tanpa memperdulikan orang lain mereka bergandengan tangan dengan mesranya dan dengan munafiknya... sang buaya darat mencari mangsa lainnya secara diam-diam. Setega itukah? Bibir, lidah, mulut, indah semua selalu bisa saja mengucap kata yang meluluhkan hati dan menyenangkan. Namun apakah lebih baik berenang dalam lautan kejujuran atau menari-nari diatas pelangi kebohongan? Cinta itu selalu sementara. Pada detik kemarin saat kalian menjadi sepasang kekasih yang saling mencinta dan pada detik kemudian saat kalian bermusuhan, kembali menjadi asing untuk satu sama lain, perasaan menjadi sebuah kebohongan. Dahulu, faktanya adalah kalian saling menyayangi dan sejalannya waktu saling mencinta itu menjadi sebuah imajinasi masa lalu belaka. 

Kepalaku secara refleks mencari sumber suara jeritan dramatis tadi. Ternyata di belakangku, seorang anak kecil yang dengan polosnya berlari diantara mobil-mobil liar, hampir saja tertabrak. Ibunya yang histeris marah karena takut kehilangan buah hatinya, dengan kerasnya menggendong anaknya. Hampir saja anak itu menatap kematian dengan mata telanjang. Menjadi salah satu saksi akan dunia lain yang nanti akan dihidupinya dalam jangka waktu yang tak terhitung. Mungkin saja tidak sekarang, tapi nanti, suatu hari. Ini bukan ancaman, ini kenyataan dan sebuah janji tentunya.

Apakah kita semua, sebagai umat manusia yang berakal budi, hanya berpura-pura untuk tidak mengetahui apa-apa? Atau apakah kita semua dengan begitu saja percaya? Kita berusaha sebisa mungkin untuk menjadi seorang yang rasional bahkan dengan tidak memperdulikan isi hati sendiri, atau sama sekali tidak memperdulikan orang lain.
Perasaan,
pemikiran,
pilihan,
kemungkinan,

sebenarnya apa inti dari semua ini?

No comments: