My photo
Currently seeking therapy through literature. Wrote a novel once, Eccedentesiast (2013), and will proceed on writing casually. Don't take these writings seriously, don't let it question yourself.

Friday, January 11, 2013

Sebuah Pertanyaan

Aku mendengar anginnya berhembus memanggil namaku berulang kali. Letih aku mendengar rengekannya, akhirnya aku memutuskan untuk duduk sendiri di teras depan dan mendengarkan curhat yang dibisikkan angin yang semilir-semilir. Aku duduk sendiri menikmati udara sore yang tidak panas dan tidak terlalu dingin, namun cukup segar untuk seorang hawa yang sekarang sedang hampa. 

Matahari yang tadinya terik gagah diatas sana sekarang mulai mengantuk dan letih, terlihat dari kuasanya yang sekarang mulai pudar diantara garis katulistiwa. Tenggelamnya sang surya diantara kawanan awan dan langit senja yang warnanya berada dicampuran jingga, biru dan ungu muda membuat seluruh situasinya menjadi lebih romantis, lebih sempurna, dan hawa berpikir, andai ada yang menemaninya di teras ini selain para angin yang masih terus menerus berbisik-bisik curhatan rahasia alam. Dedaunan hanya bisa menari-nari saja, mungkin mentertawaiku karena aku berujung kembali disini dan hanya bisa terlarut bersama situasi. Dan entah dengan demikian, hawa yang sedang duduk sendiri ini teringat dimana hari pertama kita bertemu. 

Malam itu anginnya tidak selincah sore ini, berhembus kesana dan kemari, berbisik ini dan itu. Malam itu, semua lebih tenang dan yang aku bisa lakukan saat dirumah sendiri hanya menonton acara TV yang diulang lagi dan lagi, mungkin hingga aku bisa menghafal teks dengan sendirinya! Sampai pada detik itu kawan... kamu memutuskan untuk bersinggah sebentar kemari dan menemani seorang gadis manja ini. Aku dengan hati yang berisik menggebu-gebu, mencoba untuk berjalan keluar rumah dan menuju teras kecil ini dengan tenang dan terkendali. Munafik, dimana saat otakku berpikiran semua perasaan yang berlari-lari diantara bahagia dan panik sementara tubuhku dipacu adrenalin yang gila sehingga tidak dapat berhenti tersenyum tanpa alasan, sampai akhirnya benar-benar tersenyum saat melihatmu berhenti di depan rumahku. 

Tanganku yang dingin diantara cuaca yang panas malam ini menggenggam tanganmu untuk pertama kalinya saat itu. Kau duduk di depanku, dalam sebuah situasi hening bercipratan kecanggungan. Namun entah, sejalannya waktu, sedikit demi sedikit kecanggungan itu telah mencari jalan pergi dari kita. Perbincangan bodoh yang seringkali diakhiri dengan titik, benar-benar titik tanpa lanjutan membuatku merasa... sesuatu yang tidak dapat aku jelaskan dan hanya dapat aku pendam. Penjelasan bagaimanapun tidak akan membuat siapa mengerti, hanya aku dan diriku sendiri. 

Hari demi hari, pertemuan demi pertemuan, suatu hal yang terpendam ini semakin menjadi-jadi namun selalu tak bisa diungkap. Karena hawa, akan selalu menjadi hawa yang menjawab pertanyaan itu yang tak kunjung datang dan tak akan pernah datang sampai kapanpun mungkin. 

Semenjak hari itu sampai sekarang, kembali saat angin berputar-putar diantara aku dan kesendirianku, aku benar-benar merindukanmu duduk di depanku selayaknya hari pertama kita bertemu. Semua perbincangan ringan dan mungkin tak berarti untukmu, sangat berarti untukku. Waktu yang mungkin kau buang untukku tidak terasa seperti menyia-nyiakan waktuku untukmu. Aku tahu ini bodoh, menunggu dan mengharap sesuatu yang tidak mungkin akan pernah terjadi, namun begitulah aku, akan duduk disini dalam kebodohan terus, entah, sampai kau pergi betul. 

Kamu ingin tahu apa yang aku pendam?

No comments: