My photo
Currently seeking therapy through literature. Wrote a novel once, Eccedentesiast (2013), and will proceed on writing casually. Don't take these writings seriously, don't let it question yourself.

Monday, January 7, 2013

Houdini

Mereka bilang kesabaran itu tidak ada batasnya, malah kesabaran itu adalah batas kesabaran itu sendiri. Betapa kita sabarnya saat situasi menuntut sabar kita lebih dari batas. Mereka bilang sabar itu bukan sebuah sesuatu yang harus dipelajari namun hanya dirasa dan dijalani. Kesabaran adalah proses menelaah detik-detik kejadian yang kurang memeluk hati dengan enaknya dan sukar dijalani. Biasanya ditanda dengan emosi yang kurang stabil dan campuran antara sensitif, ingin marah dan menangis. Mereka bilang aku adalah orang yang sangat sabar, bahkan ada sahabatku yang berkata aku adalah orang tersabar yang dia pernah temu. Padahal menurut aku, aku sangat tidak sabar, justru aku susah sabar. 

Aku menunggu, terus menunggu, mengulik dan terus mengulik semua cara untuk membuat para penonton terpukau mengenai ulahku. Aku mulai dari trik paling dasar hingga trik paling muluk yang sedang aku rencanakan sekarang. Entah bagaimana caranya, apakah aku harus menggunakan stuntman untuk menggantikan aku di pintu sebelah atau aku harus... bagaimana? Bahkan apa yang harus aku lakukan saja aku belum tahu! Ini gila. Waktu demi waktu yang aku buang dengan duduk didepan meja yang penuh kertas obrak-abrik ini membuatku semakin pusing. Awalnya, trik membebaskan diri dari kaki dan tangan yang full terikat dan terikat kencang dengan tali saja cukup untuk menghibur penonton. Susahnya menjadi seorang 'tukang sulap' adalah aku harus memikirkan langkah berikut dan akting berikut untuk membuat mereka semua "wow" lagi. Melahap hal besar dan mengejutkan bagi mereka sebesar lebarnya mulut mereka yang menganga saat menjadi saksi apa yang aku perbuat. Lama kelamaan trik mudah saja tidak pernah cukup untuk mereka, lama kelamaan, sejalannya waktu mereka semakin menuntutku akan hal-hal baru. Mereka terlalu banyak mendewakanku, berpikir aku seperti Tuhan yang dengan sekejap mata bisa dengan mudahnya menghilangkan sesuatu. Menghilangkan diri. Iya mungkn itu trik terbaruku. 

Waktu untuk pentas hanya tinggal satu minggu lagi dan aku baru saja selesai hari ini untuk merencanakan semunya secara mendetail. Rahasianya adalah, dibawah panggung akan ada pintu yang akan dibuka saat aku mengetokkan kaki ke panggung dan berkata "Disappear!"  Satu detik setelah aku jatuh, tirai yang digenggam kedua wanita yang akan menjadi asistenku di kanan dan di kiri akan menjatuhkannya juga, sehingga semua penonton bisa melihat aku hilang begitu saja dalam sekejap mata. Mereka akan percaya, ya mereka akan percaya. Aku sibuk dengan latihan semua trik yang aku akan tampilkan. Entah apa lagi sepertinya ada yang hilang. Aku pusing memikirkan semuanya kepada diri sendiri, entah apa yang membuatku dalam stress yang begini besar. Terkadang karena terlalu sering hidup di dalam alam sulap dan trik-trik, aku memudahkan hidup, menganggapnya hanya seperti salah satu trik sulap yang Tuhan sedang mainkan. Entah apa yang datang berikutnya, akan terasa sangat cepat dalam detikan mata menutup dan membuka lagi. Hidup seperti sulap. Aku susah membedakan yang mana yang benar yang mana yang sulap. Yang mana yang benar cinta, yang mana yang hanya tipu daya muslihat agar mata-mata bisa menggapai semua rahasiaku. 

Hari ini adalah hari H. Aku sudah siap akan semua konsekuensi yang akan aku lakukan. Aku sudah siap dengan kritikan indah atau mungkin kritikan pedas yang nanti aku akan dengar. Manajerku berkata bahwa "kritikan itu penting agar kau bisa menjadi lebih baik dari sekarang Harry." Tetapi, ayolah! Aku Houdini. Aku bisa melakukan semua trik dengan sempurna, karena akulah definisi kesempurnaan dalam dunia persulapan ini. Tirai utama telah dibuka, aku tidak bisa melihat seberapa banyak penonton anggun dan angkuh yang hari ini menontonku karena cahaya spotlight terlalu terang sehingga membutakanku. Aku bisa mendengar suara gemuruh tepukan tangan yang sangat kencang, dan itu bisa membuktikan bahwa hari ini kami full house. Aku melakukan semua trik awalku dengan baik, sehingga  trik terakhir ini disaat aku akan benar-benar menghilang dalam sekejap, lalu ada lagi dari entrance door panggung kanan. Dan ini detik-detik aku ingin hilang, aku akan hilang, aku harus menghilang, pintu dibawahku sudah siap dibuka, aku yakin, aku percaya pada 'asisten-asistenku.' 

"Have you ever imagine how it feels to disappear?" Seluruh penonton dibawah atap ini hanya bisa terdiam. Tepukan tangan sudah selesai. Tidak ada suara apapun, hanya suara mata mereka yang mendelik dari kanan ke kiri, sampai kembali lagi kepada eksistensi diriku lagi di tengah panggung. 
"Because today you will witness me disappear, into another dimension that you can't see, that you can't feel and you can't hear. And I'll be back in a glimpse. Right before your eyes." Itu janjiku pada para penonton. Aku yakin aku akan sukses dalam trik ini, aku sudah latihan dengan baik! Kedua perempuan cantik yang menjadi asistenku di kanan dan di kiri sudah siap saja dengan mengangkat tirai kecil yang mereka pegang untuk menutupiku. Mereka hanya menunggu tanganku menaik, memang begitu cara kami saat kami latihan.
"To get lost and witness another world, a stranger to the strange. I'll be back and tell you what I see. And now ladies and gentlemen, the reason I want to get lost is simple." Aku menaikkan tanganku, membiarkan aba-abaku dibaca oleh kedua asisten manisku.
"Because I wan't to disappear!"

Dalam satu detik aku bisa merasakan kakiku tidak lagi menginjak sesuatu yang keras dan dalam sedetik kemudian aku bisa merasakan kakiku menginjak kembali sesuatu yang tidak lunak, tidak hampa, namun seperti kayu, sama seperti kayu yang aku injak tadi di panggung. Tunggu, apakah aku tidak jatuh? Apakah tadi hanya paranoia aku? Aku membuka mataku yang sempat terkatup tadi, dan semuanya gelap. Semuanya tidak ada, tidak ada apa-apa, tidak ada panggung, tidak ada kursi penonton, tidak ada cahaya, tidak ada tirai, tidak ada asistenku, tidak ada suara gemuruh, tidak ada suara tepuk tangan, tidak ada asistenku yang harusnya menunggu dibawah panggung, tidak ada oksigen, tidak ada rempah-rempah kayu yang jatuh bersamaan dengan terbukanya pintu dibawah kakiku. Semua hampa, benar-benar hampa, semua gelap, benar-benar tidak bisa terlihat. Aku dimana? Tidak, ini tidak mungkin. Tidak pernah mungkin! 


Aku hilang.

No comments: