My photo
Currently seeking therapy through literature. Wrote a novel once, Eccedentesiast (2013), and will proceed on writing casually. Don't take these writings seriously, don't let it question yourself.

Thursday, December 6, 2012

Suatu Hari

Sudah lebih dari sembilan bulan, aku dan dia bersama-sama menempuh semua arung jeram cinta. Mulai dari masalah kecil hingga masalah besar, yang mungkin tidak besar... namun dibesar-besarkan. Mereka bicara bahwa cinta itu selalu merubah orang menjadi lebih egois saat mereka tumbuh menjadi besar. Bukan kekanak-kanakan lagi yang alim dan masih belum tahu apapun. Namun setelah mereka tumbuh, mereka tahu menau tentang semuanya. Mereka akan tahu semua kemungkinan dan semua ketidak mungkinan. 

Masalahnya dari ego yang tumbuh diantara aku dan daraku, membuat kitapun tumbuh menjadi dua. Bukan lagi menjadi satu. Semua ketakutan akan hal yang kita sama-sama tidak ketahui membuat aku dan dara mempertaruhkan semua waktu indah yang ada di depan menjadi waktu yang terbuang sia-sia saja. Mempertaruhkan juga kepercayaan masing-masing. 

Setelah lama selalu berargumentasi dengannya, kami berdua merasa sangat lelah. Berlari dengan arah berlawanan terus-terusan dalam putaran waktu yang seakan tak kunjung henti. Membiarkan sebuah hubungan berada diujung tombak lagi dan lagi. Ego kami tidak ada yang mau mengalah sedikitpun, dan aku tahu pasti, suatu hari kami akan selesai. 

Setelah berfikir berkali-kali dan mencoba untuk memberikan kesempatan kesejuta kalinya untuk kita, (ya, kita, bukan aku, bukan dia, kita) untuk dua bulan kedepan, kami baik-baik saja. Aku mencoba untuk mengulangi cara-caraku dulu yang bisa membuat dia tersenyum tulus bukannya menangis berderus-derus. Aku mencoba menjadi diriku yang dulu, yang semua-muanya selalu harus mengenai dia, dan menjunjung tinggi dirinya karena memang dia pantas. Karena aku tahu kita bisa. 

Berulang kali aku tidak berkeluh kesah untuk semua yang aku telah lakukan untuknya. Semua waktu yang aku relakan untuknya, semua berkunjung indah. Namun aku tahu aku berbual, menjadi seseorang yang bukan aku sebenarnya. Memasang topeng dan menari-nari di depannya hanya untuk membuatnya tersenyum bahagia. Aku bukan topeng monyet, dara. Aku tahu, suatu hari aku akan selesai.

Setelah kembali menjadi kami yang selalu terjerumus dalam perangkap perasaan dan berdiri diantara dinding ego dan cinta, untuk sebulan kedepan kami baik-baik saja. Dia mencoba menanggapi cara-caraku yang dulu bisa membuatnya tersenyum tulus, bukannya menangis berderus-derus. Dia mencoba juga menjadi dirinya yang dulu, yang semua-muanya selalu harus mengenai aku, dan menjunjung tinggi kita, karena kita memang pantas. Karena dia tahu kita bisa. 

Namun telah aku katakan padanya, bahwa semua berpura-pura ini bodoh. Karena apa intinya dari sebuah hubungan yang isinya hanya kedustaan sifat yang sama-sama mencoba menjilat satu sama lain hanya demi mempertahankan ini? Apa pula ini, bila mana memang tidak bisa aku dan dara menerima satu sama lain yang sejujur-jujurnya? Tanpa berubah menjadi topeng monyet untuk sama-sama memberi senyum pada satu sama lain. 

Aku tahu, suatu hari ini akan datang. Dara akhirnya setuju dengan pemikiranku, setelah aku lihat dia telah lelah berusaha, sebagaimana kerasnya aku berusaha mempertahankan ini. Lelah, kami berdua memutuskan untuk menyelesaikan permainan yang tak kunjung berakhir. Permainan yang tidak akan pernah jelas siapa pemenang dan siapa yang kalah? 

Mempertahankan tidak akan selamanya, suatu hari akhirat memang akan datang. Memang, seberapa kuatnya kamu menggenggam tangannya, dia memang akan pergi. Seberapa kuatnya kamu mencoba menghidupkan kenangan, mereka akan tetap mati. Karena kamu tahu? Pada akhirnya, kita semua memang akan berpisah. 

Dan itu nyata.

No comments: