My photo
Currently seeking therapy through literature. Wrote a novel once, Eccedentesiast (2013), and will proceed on writing casually. Don't take these writings seriously, don't let it question yourself.

Tuesday, December 4, 2012

Rimba

Pagi ini, disebuah hari yang biasa saja, aku keluar dari guaku dan melihat langsung ke langit yang agak kemarau, namun masih saja sang matahari yang gagah menerangi suryanya dengan bangga. Bedanya, pagi ini, suryanya tidak menjajah tapakan bumi sambil membawa tombak-tombak panas. Pagi ini, guyuran sinarnya lebih tenang sedikit dari sehari sebelum ini, lebih bersahabat dengan temperatur, lebih bersahabat dengan kulit dan daging seorang hawa. 

Aku keluar dan menikmati sekali buaian manja angin mendung yang menemani aku seharian ini. Berterbangan bersama hembusan nafas sang alam, membuatku percaya tadinya bahwa hari ini akan menjadi hari yang indah. 

Benar-benar indah.

Itu yang aku percaya. Dan itu yang akan aku lakukan, yaitu membuat hari ini menjadi benar-benar indah. Aku melewati tanah yang setengah basah dan menapaknya dengan kaki telanjang dengan anggun, berjalan melalui singa-singa yang bergerombol dipojok ruang tunggu itu, menyeringai kepada sesama, melirik tajam dengan hati-hati. Aku takut dimakan mereka, meski saja mereka tidak melirik kearahku sedikitpun. Tak terpikat sedikit saja dengan wewangian alamiah tubuhku yang menggoda dengan daging yang banyak dan gurih, namun mereka benar-benar tidak terpikat. Dari pintu masuk disebrang, keluarlah tiga buaya yang berbadan tikus, benar-benar bertiga, melirik aku penuh dengan tanya,

"sedang apa segumpal daging mencari mati diantara rimba gila ini?" 
"hawa itu memang bodoh, otaknya tak dipakai situ. Dia tak tahu saja berapa siapa yang bisa saja menyakitinya." 
"biarlah sudah, biar, biarlah dia bermain dengan apinya sendiri."

Satu demi satu dari mereka berkomentar. 

Aku berjalan lagi semakin jauh, sekarang lebih menyeramkan lagi, bersama segerombolan kucing liar itu dan juga bersama tiga buaya ini. Aku sendiri, diantara ketidak tahuan berjalan dengan mereka yang bisa saja dengan tiba tiba membuatku melihat apa yang ingin aku lihat, tertipu muslihat lah diriku dan dengan sesaat aku lunas sudah dari segumpal daging menjadi tulang belulang saja. 

Setelah berjalan sedemikian lama diantara langit luas yang menyesatkan, penuh dengan pintu-pintu muslihat dan kemungkinan diatas awan, aku memutuskan untuk terbang sepersekian detik dan melihat dunia dari atas. Diantara langit kejinggaan ini aku menatap bumi dan berfikir apa yang aku harus lakukan saat semua kemungkinan terjadi. Saat aku dimakan oleh tipu-tipu buaya dengan semua taring kucing-kucing jahanam? 

Aku fikir hari ini akan menjadi hari yang benar-benar indah. 

Pada malam hari, disaat semua singa, kucing liar, tikus jadi-jadian buaya tidur lelap, aku kemudian didatangi seekor kelinci yang bisa merubah dirinya menjadi seekor ular sekaligus. Semua tipu dayanya dia dapat lakukan demi memuaskan perutnya yang tak pernah kenyang. Dia datang padaku malam ini, saat rimba telah menjadi sangat menyesatkan. Bahkan lebih menyesatkan dari pada siang hari! Dimana semua pintu kesempatan dan jurang masih terlihat sangat konkret dan sekarang terlihat seperti ilusi yang dengan mudah ditembus semua pikiran siapa saja dengan perspektif yang sangat relatif. 

Dia datang begitu saja dengan polosnya lalu merubah dirinya menjadi ular. Menggigitku dan mencoba memasukan bisanya dan membunuh perlahan dalam sepersekian detik semua sel darah merah. Lalu aku menarik buntutnya, seakan semua mudah saja. Lalu aku lari, benar-benar lari segitu cepatnya seperti mengalahkan kecepatan suara. Dengan air mata diseluruh pipiku dan pengelihatanku yang terbatas diantara gulitanya rimba, aku tersandung.

Aku terbangun?






Note: gak ngerti? gue lebih-lebih.

No comments: