My photo
Currently seeking therapy through literature. Wrote a novel once, Eccedentesiast (2013), and will proceed on writing casually. Don't take these writings seriously, don't let it question yourself.

Sunday, December 2, 2012

Sekali lagi

Diantaranya, bertebaran debu tipis kelabu yang disebut awan. Diantara pantulan langit yang 
bukan kelabu, 
bukan jingga, 
bukan ungu, 
melainkan warna campuran magenta halus merona dan biru cerah cahaya langit pagi. Seakan sekarang, ia tersipu malu menjadi pusat perhatian manusia karena terlalu cepat ia muncul. Seharusnya pada jam seperti ini, merupakan jam ia lelap tidur. Setidaknya bersembunyi dibalik punggung ayahnya yang sekarang masih berkobar memancarkan sinarnya yang membangunkan dunia.

Aku juga sepertinya, terbangun 
terlalu pagi,
terlalu cepat,
terlalu dini,
seharusnya masih nanti disaat teman-temannya mulai bermunculan diatas sana dan dia bermandikan banyak gemerlap kecil bagaikan glitter tempelan yang secara acak ditempel oleh anak-anak kecil yang bermain diluar pagarku. 

Entah mengapa tiba-tiba hujan turun lepas begitu saja, tanpa ada pamrih dan pamitan kepada sang ayah yang sedang membara memburu lelaki yang berani-beraninya membuat sipu-sipu dara mudanya. Hujannya, telah mencuci bersih jejak lelaki tersebut, dan sekarang ayahnya pun pergi mengejar dewa Hujan untuk bertanya apakah anak lelakinya yang telah berani menggoda dara? Dan aku hanya duduk dengan secangkir kopi di depan terasku, melihat pengejaran itu, pertarungan dan kobaran petir diantara langit yang memudar ketakutan. Anak-anak kecil tadi yang berada di depan rumahku pula telah berlarian dengan teriakan manja memanggil bibinya atau ibunya mencari pelukan hangat. Merupakan gerakan natural yang mereka lakukan agar tidak kedinginan lalu sakit. Sementara aku menggenggam erat cangkir kopi hangat di depanku, meniupnya dan menyeruputnya perlahan. Menjadi saksi bisu, diantara miliaran umat manusia yang melihat pertengkaran cahaya di langit. 

Dara yang malu-malu sekarang terpampang sendirian diatas sana, tanpa teman, tanpa ayahnya, tanpa siapa saja, benar-benar setunggal diri. Seperti aku disini juga sendiri tanpa teman, tanpa siapa saja, tanpa kamu. Seperti dara, aku ditinggal tanpa restu ayahku yang mungkin sedang memburumu diantara ketidak tahuannya. Sendiri menggenggam cangkir kopi hangat, memejamkan mataku perlahan dan mendengarkan teriakan Dewa Hujan dan Ayah Dara, mengingatkanku pada hari itu dimana cuaca ini terjadi dan kamu ada disampingku memegang tanganku erat. Hangat genggaman itu mirip sekali dengan hangatnya genggaman cangkir kopi, bedanya, dirimu menggenggam balik 
dengan hati 
dan cangkir kopi berdiam diri, 
mati. 

Aku merindukan hari itu dimana aku dan kamu duduk berdua di depan teras yang sama ini, 
di jam yang sama, 
situasi yang sama, 
hari yang sama, 
namun perasaan yang berbeda.
Dengan manja aku bermain mata denganmu dan bermain permainan anak kecil dengan jari jemari yang mungkin disebut... main ayam? Permainan satu-satunya yang kamu mau mainkan denganku layaknya anak umur lima tahun yang belum tahu menahu banyak tentang hidup yang rumit ini, apa lagi tentang cinta. Matamu yang berwarna cokelat hangat dibawah sinar Ayah Dara membuatku merasa diterima baik olehnya dan ramah tamah yang terpantul membuat hatiku terjatuh lagi dan lagi tanpa bosannya. Bulu matamu yang lentik memberikan ciri khas pada dirimu dan tidak ada satu haripun aku ingin melepaskan tatapanku. 

Namun apa kehendakku saat kata hati mulai tidak berpadu lagi satu, melainkan dua. Apa daya waktu dan tempat saat perasaan sudah tumbuh dewasa kearahnya masing-masing. Lalu pada hari itu kita memilih untuk berpisah, dibawah sinar indah Dara dan teman-temannya. Namun pada hari ini, aku ingin melihat kebelakang sekali lagi saja. Aku ingin dengan lepas, seperti hujan yang tanpa pamrih berjatuhan membasahi bumi, merindukanmu begini saja, tanpa harus berpamitan dengan hatimu, tanpa pamrih, tanpa ijin. Aku ingin begini saja. 


No comments: