My photo
Currently seeking therapy through literature. Wrote a novel once, Eccedentesiast (2013), and will proceed on writing casually. Don't take these writings seriously, don't let it question yourself.

Sunday, November 18, 2012

Hilangnya Matahari


Aku duduk menghadap senja di sebuah kafe kecil. Sekitar jam 6 itu, aku menunggu entah apa, sendiri sembari menyeruput kopi yang aku pesan pelan-pelan karena tidak ingin lidahku terbakar. Kemudian, dari ketidakberadaan, aku ingat sebuah kala dulu, ibuku dulu sering berkata bahwa aku sering sekali bersedih ketika sang surya mulai tenggelam.
“Jangan sedih dong, mukanya jelek. Besok matahari selalu akan muncul lagi, di jam yang sama dan tempat yang sama. Senyum dong sayang.”

Entah apa yang membiarkan mood diriku berubah menjadi senja, bersama senja dan surya yang tenggelam. Yang aku tahu, memang aku sering merasa takut sendiri saat aku berumur 5, karena kalau malam, gelapnya mematikan. Bisa saja tersandung dan terjatuh, lalu menangis, dan aku tidak pernah mau itu. Yang aku mau adalah memandang keindahan dan kekuatan matahari selama mungkin. Ini yang membuatku lebih merasa nyaman diluar rumah, bermain sepedah dan petak umpat dari pada dirumah sendirian.

Sejalannya waktu, semakin dewasanya diriku, pikiranku mulai tidak sepolos dulu. Apa yang aku takuti, mulai memudar karena sudah lebih percaya diri, sudah lebih tahu (atau sok tahu?). Aku mulai mengisi waktu luang bukan lagi bermain, lebih berada di depan laptop dan kopi, menulis tulisan akademis dan mengejar apa yang disebut ilmu. Aku mulai tidak perduli dengan perjalanan sang surya dari bangunnya hingga kembali lelapnya di pelukan selimut horizon.

Hidup mulai berjalan dengan normal, dengan definisi normal sebagai, berkecukupan secara, mental, finansial, sosial dan fisik. Malah, aku mulai berbahagia jikalau matahari sudah terbenam, itu mengartikan bahwa hari telah selesai dan aku bisa sepenuhnya sesuka hati beristirahat. Dan hari demi hari berlalu, yang kemarin tetap menjadi kemarin. Dengan berbagai masalah yang muncul, lama kelamaan pula aku makin tidak perduli dengan apapun yang matahari lalui.

Pada sewaktu itu saja, aku keluar rumah karena hendak bersekolah. Tetapi, meskipun itu jam enam pagi, aku melihat keatas dan mencari matahari namun kosong. Bolong. Melompong. Besarnya sebesar perangko, bolongan itu, hitam pekat begitu saja. Semua orang yang keluar bersamaku, melewati batas pagar rumah mereka masing-masingpun memandang langit dengan muka yang, biasa saja. Entah mengapa, hanya aku yang dapat merasakan kepedihan dalam kehilangan matahari itu. Tidak ada lagi senja, tidak ada lagi panas yang membuatku gelisah karena keringat. Tidak ada lagi tangisan karena takutnya diriku yang dulu kecil itu akan kehilangan mataharinya. Matahari telah dicuri!

 Semua orang berjalan dengan santai seperti tidak ada yang perduli siapa yang mencuri matahariku itu dari langit. Yang perduli dan kebingungan hanya diriku sendiri, mencari diantara kerumunan orang yang berjalan, mencari yang terang siapa yang menurutku mencuri matahariku itu. Tega benar dia merubah langit menjadi gelap, memisahkan surya dengan pelukan selimut horizon! Untuk pertama kalinya aku perduli.

Sehari telah aku lewati dengan hilangnya matahari itu. Aku pandang mataku di TV semalam dan tidak ada satupun saluran TV yang menerbitkan berita hilangnya matahari. Mengapa orang semua sangat acuh tak acuh? Sangat tidak perduli?

Dua hari, tiga hari, seminggu, sebulan, aku berlarut –larut dalam kebingungan mengapa tidak ada juga orang yang memperdulikan hilangnya matahari. Memang dalam sebuah kehilangan harus saja hidup berkelanjutan, tetapi masalahnya, tidak pernah ada yang perduli dari awal!

Pada sebuah waktu, entah itu sebenarnya malam atau pagi, aku berjalan menuju jalan besar dan mencoba mencari inspirasi untuk thesisku yang harus dikumpul dalam tiga hari. Di jalan-jalan antara pedagang kaki lima yang sibuk dengan osengannya dan penggorengan dan pisau dan cabai, bawang, sayur mayur, aku menemukan sebuah tempat emperan yang terangnya, lebih dari yang lain. Pikiran pertamaku adalah bahwa tempat itu pasti enak, karena mereka cukup kaya untuk membayar lampu yang lebih bersinar dibanding mereka yang lain. Saat aku datang dan duduk, mulai aku sadari bahwa bukan lampulah yang menerangi tempat ini. Namun seorang lelaki yang sedang menumpukan kepalanya pada meja makannya, nafasnya tidak teratur dapat aku lihat dari kembang kempis punggungnya, seperti sedang menangis, atau flu? Ada sesuatu di jaketnya itu yang terang, sangat terang. 

Seperti matahariku…


No comments: