Aku duduk menghadap senja di sebuah kafe kecil. Sekitar jam 6
itu, aku menunggu entah apa, sendiri sembari menyeruput kopi yang aku pesan
pelan-pelan karena tidak ingin lidahku terbakar. Kemudian, dari
ketidakberadaan, aku ingat sebuah kala dulu, ibuku dulu sering berkata bahwa
aku sering sekali bersedih ketika sang surya mulai tenggelam.
“Jangan sedih dong, mukanya jelek. Besok matahari selalu akan
muncul lagi, di jam yang sama dan tempat yang sama. Senyum dong sayang.”
Entah apa yang membiarkan mood
diriku berubah menjadi senja, bersama senja dan surya yang tenggelam. Yang
aku tahu, memang aku sering merasa takut sendiri saat aku berumur 5, karena
kalau malam, gelapnya mematikan. Bisa saja tersandung dan terjatuh, lalu
menangis, dan aku tidak pernah mau itu. Yang aku mau adalah memandang keindahan
dan kekuatan matahari selama mungkin. Ini yang membuatku lebih merasa nyaman
diluar rumah, bermain sepedah dan petak umpat dari pada dirumah sendirian.
Sejalannya waktu, semakin dewasanya diriku, pikiranku mulai
tidak sepolos dulu. Apa yang aku takuti, mulai memudar karena sudah lebih
percaya diri, sudah lebih tahu (atau sok tahu?). Aku mulai mengisi waktu luang
bukan lagi bermain, lebih berada di depan laptop dan kopi, menulis tulisan
akademis dan mengejar apa yang disebut ilmu. Aku mulai tidak perduli dengan
perjalanan sang surya dari bangunnya hingga kembali lelapnya di pelukan selimut
horizon.
Hidup mulai berjalan dengan normal, dengan definisi normal
sebagai, berkecukupan secara, mental, finansial, sosial dan fisik. Malah, aku
mulai berbahagia jikalau matahari sudah terbenam, itu mengartikan bahwa hari
telah selesai dan aku bisa sepenuhnya sesuka hati beristirahat. Dan hari demi
hari berlalu, yang kemarin tetap menjadi kemarin. Dengan berbagai masalah yang
muncul, lama kelamaan pula aku makin tidak perduli dengan apapun yang matahari
lalui.
Pada sewaktu itu saja, aku keluar rumah karena hendak
bersekolah. Tetapi, meskipun itu jam enam pagi, aku melihat keatas dan mencari
matahari namun kosong. Bolong. Melompong. Besarnya sebesar perangko, bolongan
itu, hitam pekat begitu saja. Semua orang yang keluar bersamaku, melewati batas
pagar rumah mereka masing-masingpun memandang langit dengan muka yang, biasa
saja. Entah mengapa, hanya aku yang dapat merasakan kepedihan dalam kehilangan
matahari itu. Tidak ada lagi senja, tidak ada lagi panas yang membuatku gelisah
karena keringat. Tidak ada lagi tangisan karena takutnya diriku yang dulu kecil
itu akan kehilangan mataharinya. Matahari telah dicuri!
Semua orang berjalan
dengan santai seperti tidak ada yang perduli siapa yang mencuri matahariku itu
dari langit. Yang perduli dan kebingungan hanya diriku sendiri, mencari
diantara kerumunan orang yang berjalan, mencari yang terang siapa yang
menurutku mencuri matahariku itu. Tega benar dia merubah langit menjadi gelap,
memisahkan surya dengan pelukan selimut horizon! Untuk pertama kalinya aku
perduli.
Sehari telah aku lewati dengan hilangnya matahari itu. Aku
pandang mataku di TV semalam dan tidak ada satupun saluran TV yang menerbitkan
berita hilangnya matahari. Mengapa orang semua sangat acuh tak acuh? Sangat
tidak perduli?
Dua hari, tiga hari, seminggu, sebulan, aku berlarut –larut
dalam kebingungan mengapa tidak ada juga orang yang memperdulikan hilangnya
matahari. Memang dalam sebuah kehilangan harus saja hidup berkelanjutan, tetapi
masalahnya, tidak pernah ada yang perduli dari awal!
Pada sebuah waktu, entah itu sebenarnya malam atau pagi, aku
berjalan menuju jalan besar dan mencoba mencari inspirasi untuk thesisku yang harus dikumpul dalam tiga
hari. Di jalan-jalan antara pedagang kaki lima yang sibuk dengan osengannya dan
penggorengan dan pisau dan cabai, bawang, sayur mayur, aku menemukan sebuah
tempat emperan yang terangnya, lebih dari yang lain. Pikiran pertamaku adalah
bahwa tempat itu pasti enak, karena mereka cukup kaya untuk membayar lampu yang
lebih bersinar dibanding mereka yang lain. Saat aku datang dan duduk, mulai aku
sadari bahwa bukan lampulah yang menerangi tempat ini. Namun seorang lelaki
yang sedang menumpukan kepalanya pada meja makannya, nafasnya tidak teratur
dapat aku lihat dari kembang kempis punggungnya, seperti sedang menangis, atau
flu? Ada sesuatu di jaketnya itu yang terang, sangat terang.
Seperti matahariku…
No comments:
Post a Comment