My photo
Currently seeking therapy through literature. Wrote a novel once, Eccedentesiast (2013), and will proceed on writing casually. Don't take these writings seriously, don't let it question yourself.

Friday, November 23, 2012

Copet?

Dia pasti tahu bahwa yang dia lakukan itu salah. Salah besar. Salah fatal. Mencuri apa yang bukan dimilikinya, merupakan sebuah kesalahan besar. Menjadi saksi sebuah kejadian berparas kriminal merupakan sesuatu yang besar ternyata, aku pikir aku bisa menjalankannya begitu saja. Namun setelah memperkirakan banyak pihak yang akan terluka, semuanya menjadi berat. 

Pada hari Jumat sore, disebuah waktu luangku yang berawan dan membosankan, aku memutuskan untuk pergi ke toko A, untuk mencari udara segar saja. Langitnya sangat kusam seperti baju anak SMA pulang sekolah dari tempat tongkrongannya yang belum dicuci. Awan gelapnya dan titisan rintik hujan yang sedikit demi sedikit turun, langgeng sekali berhimpit dengan langit. Seperti sepasang kekasih yang sedang hangat-hangatnya di hari pertama. Aku berjalan sendiri, menggunakan head set dan mendengarkan lagu mellow hanya untuk menjadi terbawa suasana ini. Sepanjang perjalanan tak banyak yang aku lihat, tak banyak yang aku pikirkan, tak banyak yang aku harap selain hujan yang segera meluncur, tak banyak pula yang aku kira akan menjadi sebuah kejutan.

Tak lama setelah berjalan melalui hembusan angin sengit, aku sampai dan memasuki toko itu. Entah apa yang aku cari namun selera lidahku mencari minuman dingin segar yang bisa membangkitkan semangat diantara kekelabuan ini. Saat berjalan diantara daerah minuman kaleng, aku melihat melalui kaca, pantulan seorang sederhana yang sedang mencari...minuman? Tetapi satu hal yang absurd adalah dia memasuki semua yang ia mau kedalam jaketnya yang gelap dan terbuat dari kulit sintetis yang terlihat mahal dan hangat. Ia melirik kesana dan kemari sebelum ia melakukannya dan ia melirik mataku tajam. Saat itu juga, mataku sepertinya disandra setelah tertangkap pengelihatannya. Aku membuang mataku sejauh-jauhnya dan berpura-pura untuk tidak melihat dan mencoba bersikap tenang. 

Ia tidak bergerak, pula diriku. Seberapa kerasnya aku mencoba untuk membuang tatapanku, aku selalu kembali ketatapannya. Seperti aku tidak bisa keluar, seperti aku menatap diri sendiri. Setiap gerak gerikku diikutinya seperti dia sedang menerorku. Ada sebuah dentuman keras di otakku yang berteriakan "Sadarlah! Berbuat yang benar!" tetapi hatiku tak kuat menahan luluh dan ketakutan, sehingga aku bersaksi bisu saja. 

Sehingga pada akhirnya, pada detik kesekian dan setelah beberapa lama aku disandra oleh diriku sendiri dan pikiranku yang linglung harus berbuat apa, aku mengembalikan semua hak yang bukan milikku. Aku mengembalikan semua minuman kaleng yang ia simpan dari jaket kulit sintetisnya itu. Melakukan apa yang salah memang mudah dan melakukan apa yang benar memang susah. Tetapi setelah memikirkan berapa pihak yang dapat tersakiti dan berapa pihak yang akan dicurigai, di rugikan, di korupsikan, aku melakukan apa yang menurutku baik. 

Pandangan di matanya mulai melesu dan mukannya mulai menenang. Tadi mukannya yang penuh dengan kepanikan dan ketegangan seperti bertanya-tanya apa yang orang akan pikir jika mereka tahu bahwa apa yang dia dapat adalah hasil mengambil hak orang lain? Sekarang matanya mulai meneduh, seakan logikanya mulai berjalan lagi dengan lancar. Jaketnya yang telah basah dengan sedikit uap air dingin tadi dia lap perlahan dengan tangannya yang sedikit gemetar. Dentaman jantungnya yang kencang itu sekarang sudah mulai redup dan mulai berirama normal kembali. Keringat dinginnya yang mengucur seperti rintik air hujan diluar sudah mulai menguap diantara ketenangannya. Tiba-tiba dia menatap kaca lagi, lalu aku keluar toko, lalu aku memutuskan untuk kembali kerumah saja. Aku bukan copet.


No comments: