“Han, Hutangku Seribu Pelukan”
Pintu ini, pintu
kamar putri tunggalku, Annisa, sudah kubuka begitu sering sejak Nisa hadir.
Tapi pagi ini, kubuka dengan sedikit debar. Adakah sesuatu yang lain itu? Yang
kubayangkan dan kuharap ada sejak dia pulang dari acara makan-makan ulang
tahunnya dengan teman-temannya kemarin?
Kunyalakan lampu
untuk memastikan. Aku tersenyum, yah itulah dia. Aku melihatnya: setangkai
mawar merah, dan setangkai mawar putih. Nisa menyelipkannya di dalam vas
rangkaian gerbera dan snap dragon pink indah yang kurangkai untuknya kemarin.
Kuambilkan sebuah gelas anggur ramping berkaki biru safir matang tinggi
langsing yang anggun, kupotong sedikit tangkai bunga-bunga mawar itu untuk
menyesuaikan ketinggiannya. Dan jadilah, dua tangkai mawar dalam gelas yang
indah. Sudah tak terlalu segar. Kurasa Nisa menjejalkannya dalam jaketnya pulang
semalam. Dia tak ingin seorangpun melihatnya. Mawar merah selalu bersifat
pribadi. Tak pernahpun lama merekah segar sempurna ditangan remaja. Mereka
mendekapnya, mengelusnya, mengendusnya, menciumnya, meremasnya, mengaduh saat jari
mereka yang halus tertusuk duri, lalu tertawa berderai...
Aku memanjakan
diriku dengan bahagia putriku diulang tahunnya yang 16. Kemarin kusandarkan
sebuah kartu untuknya, begini kutulis:
To: sweety; A. Tiara (ini nama
penulisnya, dia suka meringkasnya seperti itu)
Now it’s 16
can’t wait to be 17.
But hold on,
take it slowly.
Cause I’m gonna
give you 1000 hugs first.
I love you,
like a miracle..
Happy birthday, hon!
Mom.
Jadi, Nisa
menciumku terima kasih, katanya: “You owe
me a thousand hugs till next year.”
Aku tersenyum. Kurasa,
hutang harus kulunasi. Tuhan akan menuntun jalannya.
No comments:
Post a Comment