My photo
Currently seeking therapy through literature. Wrote a novel once, Eccedentesiast (2013), and will proceed on writing casually. Don't take these writings seriously, don't let it question yourself.

Wednesday, May 2, 2012

Cintaku Jauh di Pulau

Pada tahun 1946, setelah aku berumur 23, aku memutuskan untuk keluar dari pesisir pantai ini. Aku tidak ingin menjadi seperti bapakku, seorang pelaut. Aku ingin kerja di kota, sebuah pekerjaan yang lebih pasti gajinya dari pada bapak. Sulit dikata, perasaanku saat aku memulai perjalananku menuju hutan rimba. Melewati deras ombak laut dan hujan atau terik matahari. Yang lebih sulit adalah saat aku meninggalkan Lintang, sebelah hatiku. Aku dan Lintang telah menjalani hubungan langgeng selama tiga tahun, tapi untuk kebahagiaan bapak dan ibu, mungkin pula Lintang, aku akan mencari uang jauh dari mereka. Tapi aku berjanji, aku akan kembali untuk mereka setelah aku merasa cukup untuk menafkahi bapak dan ibu, dan mungkin, menyunting Lintang. 

Setelah lima tahun berpisah dari mereka, duniaku terasa sulit. Memang, di kota, di pulau sebrang, gaji lebih pasti dan mudah dibanding berlayar dan memancing ikan. Setiap minggunya, aku menyurati bapak, ibu dan Lintang. Senangnya membaca kata-kata mereka bahwa mereka sehat dan bahagia disana. Kecuali untuk setengah hatiku, yang berkata rindu setiap minggunya, melalui surat-surat yang ia lukis. Dan sampailah aku pada hari ini, hari dimana aku siap untuk pulang. Dimana aku merasa cukup, untuk berlayar kembali ke rumah, menuju surga duniawi. Aku telah menunggu serasa berabad-abad untuk hari ini datang. Pada bulan purnama hari ini, aku akan mulai perjalananku kembali dan aku akan memeluk Lintang, seakan aku tidak akan hidup esok. 

Perjalanan hari ini agak membuat getaran di hati. Awan yang berkuasa merubah diri menjadi gelap dan aku tahu aku menuju peperangan dengan cuaca. Berjam-jam aku berlayar menerjang ombak laut. Di benakku hanya terbayang senyuman bangga bapak, tangisan bahagia ibu dan ... Lintang. Aku dengan hati-hati melewati petir yang menyambar dan angin yang meniup-niupi kapalku. Aku bisa saja mendarat dahulu, namun, aku tidak ingin mengundur waktu menuju kebahagiaan sempurna. Tak lama kemudian semua gelap dan aku tahu ini klimaks dari semua perjuanganku. Karena diujung mataku, aku melihat cahaya terang dimana aku tahu aku akan damai dan bahagia selamanya. 



Pada tahun 1946, saat itu aku berumur 22. Anwar memberiku hadiah ulang tahun terburuk sepanjang masa, yaitu dia memutuskan untuk meninggalkanku. Aku tahu keinginannya untuk kerja dikota karena ingin membanggakan orang tua. Dan aku harus mengalah untuk membiarkannya mengejar impiannya. Aku tahu untuknya pula, berpisah pasti susah, untukku, bagaikan menghapus langit dengan penghapus. Tidak mungkin bukan? 

Malam itu, sebelum dia berlayar, dia berjanji kepadaku akan kembali. Disaat dia yakin, dia dapat membawa orangtuanya dan aku menuju kehidupan yang lebih baik. Selama lima tahun aku ditinggal pergi, sendiri dan hampa. Seakan aku seorang puteri tidur yang sedang menunggu pangerannya untuk membangunkannya. Beruntung puteri itu, menunggu kian lama dengan tidur dan aku, tak bisa berangan dan hanya bersama bayangan diri sendiri. Surat-surat yang tiap minggunya Anwar kirim, telah aku tumpuk menjadi satu. Aku tidak ingin kehilangan apapun, karena buatku, kehilangan salah satu, seperti kehilangan sehelai bagian dari dirinya dan rasa rindu yang ia tempel berserta suratnya. Aku disini menemani orangtua Anwar, mereka terlihat bahagia berdua, tetapi mereka juga merasa rindu yang setara sepertiku. Mereka rindu dengan anak lelakinya yang seperti cahaya diambang kegelapan, seperti aku yang merindu kekasih. 

Minggu lalu, hari Minggu, aku mendapat surat, bahwa Anwar akan pergi kembali berlayar pulang pada hari Senin malam. Dan diperkirakan sampai pada Selasa paginya. Dia berkata bahwa dia akan tinggal disini selamanya dan tidak akan meninggalkanku lagi. Dia akan menanyakan sebuah pertanyaan pula padaku yang katanya akan merubah dunia menjadi lebih indah. Aku tak punya pikiran apapun tentang apa yang dia akan pertanyakan. Dia menulis pula bahwa aku jangan membalas surat ini karena tidak akan sampai padanya, dan aku hanya akan membuang ongkos pengiriman. Malam ini aku akan memimpikannya, malam ini aku akan berdoa agar dia selamat. Malam ini, untuk pertama kalinya setelah lima tahun dia pergi, aku bisa tidur nyenyak.

Esok pagi, aku bangun dan langsung berlari kerumah Anwar, aku mengetuk dengan rasa gugup dihati. Aku takut dia tidak cinta padaku lagi... aku takut, mungkin dia sudah beristri? Lama tak ada jawaban dan orangtuanya pun belum menjawab. Mungkin aku terlalu pagi, mengingat ini hanya subuh. Tetapi seharusnya biasa mereka bangun dan sholat jamaah subuh. Entah, mungkin hari ini berbeda. Aku akan kembali siang. 

Saat aku kembali, Anwar belum ada, pula keluarganya. Aku ketuk, ketuk, dan ketuk. Yang aku dengar hanyalah gaung yang berbisik bahwa rumah itu kosong. Aku mengira mereka pergi untuk jalan sejenak. Aku berharap mereka sedang jalan... aku menenangkan hatiku. Detik, menit, jam, waktu berjalan. Seminggu telah lari, ibu bapak Anwar ternyata hari itu sedang pergi. dan Anwar? Dia belum terlihat batang hidungnya. Aku mengira bahwa dia ditunda perginya. Tak apa, minggu depan aku akan tunggu surat kabarnya. 

Minggu menjadi bulan, bulan menjadi tahun. Anwar tak kunjung datang dan aku tak pernah dapat surat lagi darinya. Hampir diriku sendiri pergi kesana, melewati cuaca gila dan ombak menantang, tapi hatiku kurang kuat. Aku takut, melihat dia bersama wanita lain. Aku hanya bisa menunggu, melihat ke jendela, berdoa dan berharap. Setiap menit, aku menyebut doa yang sama tanpa henti, terus berharap tanpa putus asa. Aku terus melihat keatas, dan memejamkan mata, berharap melihat Anwar. Hingga suatu hari, aku berbisik pada Tuhan;
"Berikanlah aku kepastian..." 
Hingga lalu, pintu rumahku diketuk. Bapak Anwar berdiri disitu, dengan muka lemas, lesu. Penuh dengan kesedihan dimatanya, yang menatapku. Mulutnya yang diam, seakan lengket terjahit ke satu sama lain. Badannya bongkok kedepan, seakan harapan untuk hidup telah hilang. Dia begitu aneh, menatapku hampa. Seakan aku tiada. Menyodorkanku sebuah botol berisi kertas tanpa bicara, lalu pergi. Aku garuk botol itu dan kubuka. 
Untuk Lintang
Sebut surat itu. Aku buka lipatannya dan...

Lintang, Aku cinta dirimu. Maafkan aku tidak bisa menepati janji.

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan oleh - oleh buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
- Cintamu,
Anwar.





Terinspirasi oleh puisi Chairil Anwar, Cintaku Jauh Di Pulau.

No comments: