My photo
Currently seeking therapy through literature. Wrote a novel once, Eccedentesiast (2013), and will proceed on writing casually. Don't take these writings seriously, don't let it question yourself.

Monday, November 21, 2016

Syukur Kepada Allah

Ombak yang berlinang mencuci jiwa dan ragaku di malam kamu pergi akhirnya kering. Ku putuskan agar setiap bulirnya menjadi berlian untuk memperkaya dewasaku. Kali ini pagi yang datang mengetuk pintu (bukan lagi kamu). Mataku bangun dari istirahat yang lebih terasa seperti lima menit dari pada enam jam. Bayangan di kaca menertawaiku keras karena yang ia liat adalah sebuah pasang mata yang sembab seperti digigit walang sangit!

Hatinya muram sekali, hampir terasa malam dari pada pagi, apa karena tirai jendela masih tertutup? Lemah badan ini seperti lunglai dalam ganja, tak bisa kemana-mana atau tak mau kemana-mana? Matanya yang ruam itu seperti takut untuk beranjak, takut bertemu kekasih yang pergi tanpa pamit itu. Tapi kewajiban bukannya harus ditepati seperti janji? Jadi ku putuskan untuk pergi dan meninggalkan zona amanku (seperti kamu meninggalkan zona nyamanmu; aku).

Sialnya, langit bercermin kepada hati hingga pagi bermimik malam dalam mendung. Ada apa dengan dunia ini!? Seakan mereka semua berkomplot untuk menjoroganku kedalam jurang gelap tanpa mau aku kembali ke permukaan. Bisikkan kecewa membuatku terlena hingga tak kuasaku menahan rasa di pinggir jalan menuju kampus, menangis terisak-isak seperti wanita gila yang biasanya ku papas sedari bioskop bersamamu. Mungkin inilah yang dirasanya sampai-sampai jadi gila!

Ku jalani saja hari ini tanpa keinginan dan harapan, sampai seorang teman berkata “untuk apa lemah kalau bisa kuat? Toh hari yang buruk bukan berarti hidupmu buruk kan? Tak selamanya sakit ini akan menetap,” dan tersentaklah diriku hingga dibawaku ke awal hari saat bangun pagi tadi. Tiba-tiba ku ingat langitnya cerah, biru menawan, tidak buas tapi bersahabat. Anginnya membuai badan lelah ini keluar dari zona aman. Setiap individu masih hidup dalam kisahnya dan dunia masih berputar seperti biasa. Hidup masih berjalan meski kamu dan aku berubah, membuatku sadar bahwa ini semua bukan kiamat.

Mataku tiba-tiba sembuh dan terbuka lebar pada karunia Ilahi yang penuh rahasia. Awam sepertiku tak akan bisa melihat indahnya ‘cobaan’ jika tidak memilih untuk merasakannya. Namun seperti takdir bertemu dengan ucapan kawan seperti itu, hingga akhirnya ku temukan syukurku pada hari baru ini. Memang rasanya berat mengalami perubahan dari rutinitas dua tahunku, tapi baru bukan berarti buruk, dan baru akan menjadi lama di suatu masa yang datang. Jadi ku rasa memang pantas untukku lemah dan sedih, memeluk erat asa hari ini, namun bukan artinya aku menyerah dengan keberadaan.

Rasa sakit dan kecewa memang cenderung memakan kesadaran sehingga tenggelam dalam waktu, membiarkan rasa itu menjadi parasit yang membuat induknya mati membeku. Tapi ku pilih untuk maju, dan bukan mati beku dalam tanya “kenapa ini semua terjadi?” Dengan hati lemah yang bertekat menjadi kuat di suatu saat, aku langkahkan kakiku menghadapi hari baru tanpa lagi rasa takut. Ketika parasitku kembali menggerogoti jiwa, ku tatap langitnya dan batinku berbisik “syukur kepada Allah atas rasa sakit ini,” karena pahamku berkata bahwa dari benih sementara akan tumbuh manusia yang lebih tegar dan kaya. Syukur kecil yang ku bisik membuat rumput terlihat lebih hijau dan kicauan burung merdu menenangkan. Mungkin kadang, kerikil kecil seperti ini dibutuhkan untuk ingat siapa yang ada di Atas sana dan berhenti iri hati pada rencana dan angan.


Aku bersyukur kamu pergi tanpa pamit.

Tertulis: Hari satu.

No comments: