My photo
Currently seeking therapy through literature. Wrote a novel once, Eccedentesiast (2013), and will proceed on writing casually. Don't take these writings seriously, don't let it question yourself.

Friday, February 13, 2015

Jangan Selingkuh!

Jadi dia bilang keluhan awalnya adalah anomali dalam detak jantung. Terkadang suka disisipkan sedikit romansa olehnya. "Aku cuman deg-degan kalau ketemu kamu, aku gak apa-apa kok." Saya tidak khawatir, tetapi tidak juga tersanjung.

Dari anomali kecil dia bernaung dengan pusing, migren yang menggila setiap kali matahari bersua. Katanya, matahari menjadi 100x lebih terang dari biasanya. Saya tahu dia sudah mulai merancu, bahwa keberadaannya ada diantara penyebrangan nyata dan tidak. 
 
Lalu saya ingat dia tidak tidur selama 24 jam. Sudah berkali-kali saya ingatkan untuk mencoba bermeditasi sehingga bisa membantu kantuk datang. "SUDAH" teriak dia. "TAPI GAK NGEFEK TAU GAK". Saya sarankan untuk menutup mata dan berhenti berpikir, dia dengan gesit memalingkan muka dan jalan menjauh dalam jengkel. 
 
24 jam berubah menjadi 36 jam, berlanjut menjadi 42 jam hingga tak terasa sudah hampir satu minggu penuh saya lihat dia tidak tidur. Keruh tampaknya sudah menjadi citra barunya. Keruh raut wajahnya, keruh bola matanya, keruh cara berpenampilannya, keruh, keruh, keruh, semua serba semerawut! 
 
Jengkel, penat, kesal, dan air mata sudah dia tumpah tampiskan semuanya. Titik-titik hujan yang awalnya lembut menjadi deras dan meluapkan banjir di bundaran HI, Jl. Sudirman Jakarta. Gila juga, batin saya. Mungkin ini sudah waktunya.
 
"Coba ini" sembari saya sodorkan sebuah pil tidur. Dia tersenyum seakan telah menemukan sebuah permata dibawah tumpukan tanah bumi di Venus. Saya pergi, saya serahkan semuanya ke tangan satu barang putih itu. Saya tunggu kabar, tidak ada, saya pikir: akhirnya ada jalan.
 
Dia datang bersama surya, dengan wajah sedikit cerah dan senyum yang lama punah. "Nama obat tidurnya apa?" Saya tahu persis dia akhirnya menemukan solusi yang telah lama bersembunyi. Saya bisikan padanya jenis obat yang saya berikan. 
 
Lambat laun dia merasa lebih baik. Saya senang. Anu senang, mungkin kembali sudah semua menjadi normal. 
 
Meski suatu hari dia telfon bentak-bentak telinga saya. Dibuat bingung tubuh saya. Katanya dia terima telfon itu lagi yang sudah lama menghantuinya. Kembali anomali, kembali pusing, kembali keruh. "Tenang dulu" saya coba berikan. "Udah cukup." Telfon itu mati dan dia pergi. 
 
Dengan berada di persebrangan ada dan tiada saya tahu dia sedang linglung. Keputusan yang dia buat tidak rasional, tidak mungkin. 
 
Saya tunggu kabar.
 
1 hari,
2 hari,
3 hari,
 
ternyata dia mati. Bunuh diri. Dengan obat tidur yang saya beri, over dose. Dia menggenggam sesuatu, saya buka setelah saya telfon polisi. 
 
Ternyata foto saya dengan istri.

No comments: