My photo
Currently seeking therapy through literature. Wrote a novel once, Eccedentesiast (2013), and will proceed on writing casually. Don't take these writings seriously, don't let it question yourself.

Monday, November 10, 2014

CGK, Jakarta


Kalau hari Sabtu pagi sekitar jam 6.00-7.00 WIB biasanya mahasiswa sih masih entah hilang di dimensi lain atau mimpi ketemu sama gebetan. Kalau gue Sabtu kemarin, 8 November 2014 jam 6.00WIB udah di jalan menuju Jl. Thamrin, Jakarta. I was on my way to a prestigious seminar in attempt to expand my knowledge about some deep sh.t like politics, education system in Indonesia and anti-corruption discussions. Tujuannya adalah menjadi mahasiswa yang aktif dan ingin berpartisipasi dalam memajukan bangsa Indonesia. Sebagai generasi muda yang akan melanjuti, memperbaiki, dan memperbaharui jejak-jejak ‘ayah’ dan ‘ibu’ negara yang masa pensiunnya akan datang sebentar lagi.

My thoughts sparked through my mind as I was wandering on the way to the venue. Maklum karena selama kuliah gue ngekos diluar kota dan tidak lagi berjumpa dengan tall buildings and skyscrapers. Selama di jalan yang gue pandangin benar-benar adalah langit biru yang keindahannya dilucuti oleh God-knows-how-many-storeys buildings. Bangunan-bangunan kantor yang tingginya hampir selangit tertanam keras bersama fondasinya di tanah negara ini, dimana-mana. Beda sama lokasi kos gue yang kalau mengintip sedikit keluar, pemandangannya adalah gunung-gunung tinggi yang pucuknya mengecup halus rembulan. Kemudian, it didn’t stop there. People, human, we keep building more and more ignoring the fact that in the other side we are distructing mother nature. Juga bukan ketinggiannya yang membuat gue merasa amazed tapi bagaimana bangunan itu menjadi simbol atau cerminan ibu kota Jakarta. Semakin tinggi jabatan lo artinya semakin tinggi juga lantai kantor lo. Which leads me to another thought, Jakarta’s lifestyle.

So contradictive, so opposite of each other and like oil and water they cannot dissolve. And probably this happens to the entire world, but holy sh.t Jakarta’s lifestyle is so messed up. Pantes aja orang-orang di Jakarta banyak yang stress atau depresi (contoh: CEO yang bunuh diri loncat dari Skye). Because of the lifestyle and society that’s so demanding. Everything in Jakarta is overpriced and super expensive. You have to be middle to upper class rich to survive. Entah sistem ekonomi apa yang berlaku di Indonesia, tapi sepengelihatan gue adalah kapitalis. Consumerism, going to the mall is included as hanging out. Nongkrong padahal gak selalu harus di mall, tapi sekarang anak SMP aja udah nongkrong di Starbucks. Rich ass kids wearing leather bodycon and heels going to the mall, showing their thighs with super mini skirts. Lamborghinis everywhere, ferraris and on your right side ada pengemis lagi ketuk-ketuk kaca mobil minta uang Rp 500,- dan gak di kasih. This is both lifestyle and society’s morale that is lower than... I don’t even know. Some of the people are so ignorant, corrupted and inconsiderate. “Jakarta keras boss!” itu betul.

And out of so many things to whine about Jakarta, my utmost complaint goes to it’s traffic. Astaga kalau udah ngomongin macetnya Jakarta bisa bikin naik darah banget. Bayangin, kalau malam sabtu, malam minggu, senin pagi, or every other day and night, lo bisa tua di jalan sendiri. Dari Bekasi ke Jakarta yang biasanya hanya memakan waktu 45 menit atau maksimal satu jam, makin kesini bisa-bisa 2 jam. Udah kaya Jakarta ke Bandung. Kadang kalau pake ujan dan banjir bisa 3 jam sendiri, udah kaya Jakarta ke Jatinangor. Oh my God!

Sampai-sampai akhirnya karena gue kebanyakan ngedumel, gue jadi sadar kalau sebenarnya memang ini apa adanya Jakarta. Ibu kota tercinta yang liar nan sibuk. Hectic udah kaya di Wall Street, Amerika. Mungkin ini versi mininya. Jakarta as it is, I believe will change one day either to the better or the worse (I expect nothing), will forever be Jakarta. Sampai-sampai gue lupa sendiri kalau sebenernya the night ligts in Jakarta are beautiful seperti bintang-bintang kelap-kelip di semesta sana. Batavia, salah satu lokasi beraktivitas para pejuang jaman dulu dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Yang menjadi tempat terjadinya transaksi jual beli saham, yang menjadi tempat gue sendiri hang out sama temen-temen semasa SMP dan SMA. Tempat yang akan selalu gue rindu, despite all the bullsh.ts that it throws at me. The food, the fashion, the business, the –what ever you are looking for is available in Jakarta. I have lived so many years amongst Jakarta and its area, its people and its society. So many things to protest against what Jakarta has to offer me. But this is what it is, Jakarta. 

Memang benar, terkadang hal-hal yang menyebalkan justru menjadi hal-hal yang sangat dirindukan.

Jatinangor,
10 November 14

*This post was made not to offend any particular people or organisations or groups, etc.

No comments: