My photo
Currently seeking therapy through literature. Wrote a novel once, Eccedentesiast (2013), and will proceed on writing casually. Don't take these writings seriously, don't let it question yourself.

Saturday, August 17, 2013

Pantainya

Ini semua bertempat di pinggiran pantai, dengan desiran laut menjadi theme song hari ini. Langitnya tidak dapat dia gambarkan lagi keindahannya, tak perduli sepintar apa dia sebagai pelukis. Jingga, biru muda dan sedikit noda-noda putih menghiasi. Pencampuran warnanya absurd, tidak kontras, tidak cocok, namun sempurna apa adanya. Aroma pantai yang menenangkan beramai-ramai menari diantara angin semilir yang tidak terlalu dingin. Cahaya matahari senja dengan hangat dan berani, memaparkan diri pada paras pelukis itu. Membuat kulitnya yang dengan alami berwarna coklat (seperti cokelat Cadbury,) menjadi lebih bercahaya, berkilau. Manis, sepertinya dia adalah perempuan yang manis. Terlihat dari aura kilauannya, seperti batu permata yang jarang diantara pasir-pasir ini. Keberadaannya mencolok mata karena memang betul dia berkilau. Bagaikan bulan dan bintang yang terkena pantulan sinar matahari, agar berkilau bening, terang benderang diantara langit malam yang sejuk.

Matanya seperti madu, kecokelatan tapi muda. Bening, matanya bening. Cahaya senja hangat yang tanpa pamrih menggusur kekelaman dari matanya, telah membuat matanya lebih bening. Ia terlihat lebih bahagia, bahkan hanya dengan menatap matanya. Bahkan tanpa harus melihat bibirnya, sudah terlihat dia sedang tersenyum, terkekeh, tertawa riang. Meski demikian, tatapan matanya dalam, seakan sedang menerawang setiap sudut pemandangan pantai hari ini. Seakan ia sedang melirik dan mencari jawaban akan pertanyaan-pertanyaan yang hanya hatinya dan Tuhan yang tau. Pertanyaan yang tersimpan dalam-dalam di belakang kepalanya, terkunci. Karena jika tidak akan bisa membuatnya jenuh, penat, bahkan gila, seperti kotak pandora yang seharusnya terkunci saja dan tak pernah terbuka. Karena sekalinya semua itu terbuka, akan keluar rasa asa, perih dan dusta yang akan menyakitinya. Dan janganlah begitu, karena matanya yang bening dan bahagia ini terlalu indah untuk disakiti. 

Bibirnya kemerahan, muda dan terlihat sehat. Tidak kering, tidak seperti para perokok atau tidak seperti mereka yang suka berkata kasar dalam kebohongan. Dia terlihat seperti seorang penyebar berita baik, seperti malaikat pembawa rizki pada manusia lainnya. Dari bibirnya saja, dapat aku lihat bahwa dia seorang wanita yang halus, yang berkata baik dan menjaga perasaan orang lain. Terlihat dari senyumnya bahwa hatinya bersih dari niat jahat. 

Rambutnya hitam, berterbangan bersama angin pantai, panjang dan berliku seperti ombak didepannya. Lika-likunya seperti menunjukkan jalan fikirnya yang berbelok juga. Berlikuk kesana dan kesini karena dia banyak mengetahui hal. Seperti menunjukan bahwa wawasannya luas, tidak hanya sebatas apa yang ia handal, tetapi lain dari itu juga. Badannya ramping, dengan celana pendek yang disarungkan kain Bali berwarna biru muda dan menggunakan tank top putih, bersama liontin berlian emas berbentuk hati . Sangat diyakinkan itu pemberian seorang yang spesial. Bukan dari sembarang orang.

Dia, dengan paras yang indah, terus mengusik kanvasnya, yang benar-benar sendiri. Benar-benar seperti mengabaikan sekitarnya, tidak memperdulikan semua mata yang tertuju padanya, melirik dan dengan diam-diam mengkritik dalam kepala mereka. Dia tidak memperdulikan mulut-mulut yang berbisik disekelilingnya, yang memperhatikan entah fisiknya atau lukisan yang dia sedang coba untuk selesaikan. 

Satu jam dari sekarang, akhirnya dia menyelesaikan apa yang dia mulai. Kanvas yang tadinya dia tenteng ringan dan polos, sekarang telah menjadi kanvas yang bernilai. Warna-warna langit telah dia tangkap dan dia kurung pada kanvas itu. Gerak-gerik yang hidup dan desas desus angin sudah dia borgol dan penjarakan dalam objek itu. Aroma dan melodi ombak laut yang paling dia suka sudah dia robek dan dia lekatkan pada karyanya. Akhirnya, tanpa terlihat lelah sedikitpun, dia telah menyelesaikannya. Indah, sempurna, seperti dirinya. Lalu dia berdiri merapihkan butiran-butiran pasir yang menempel di betisnya, lalu mulai berjalan kearahku. Menggenggam dengan lekat pantainya di tangan kiri lalu menjulurkan tangan kanannya padaku dan berkata,

"Sayang, mari pulang."

Aku bersyukur dia milikku.

No comments: