My photo
Currently seeking therapy through literature. Wrote a novel once, Eccedentesiast (2013), and will proceed on writing casually. Don't take these writings seriously, don't let it question yourself.

Wednesday, May 1, 2013

Terakhir Untuk Dikenang

Cuacanya panas, langitnya sengit dan mataharinya benar tepat bertengger diatas ubun kami. Lengan kami yang berhimpit saat jemari saling memeluk, terasa lembab karena keringat yang menguap. Orang-orang berhimpitan, hampir saling mendorong agar bisa duluan masuk kedalam gerbong kereta masing-masing. 

Cuacanya penuh dengan linangan air mata. Semakin deras hujan yang turun menuju pipi mereka mengartikan semakin lama jangka waktu mereka akan terpisah. Ada ayah yang sedang memeluk kedua anaknya lalu mencium jidat istrinya dengan pelukan erat, ada banyak kekasih yang masih berhimpit depan-depanan, saling menatap dan tertawa dalam kebahagiaan yang palsu. Dan ada kami.

Aku bukan pihak yang pergi sekarang, melainkan pihak yang ditinggalkan. Meski aku juga akan meninggalkan, suatu hari nanti. Kami berdiri sejenak di dekat platform keretanya yang bertujuan ... entah kemana aku -tidak ingin memikirkannya lagi. 
"Nanti jangan lupa telfon mas Adi buat jemput kamu."
"Udah bawa kunci rumah disana?"
"Terus tiket ada dimana, udah kamu pegang?"
"KTP? lengkap semua kan?"
Dan selama aku mengoceh panjang lebar, penuh dengan kekhawatiran, dia tidak menjawab apapun. Dan dia hanya tersenyum hangat, manis, nyaman sekali. Tersenyum seperti saat aku pertama kali bertemu dengannya. Hah, sudahlah sudah, aku tidak ingin bersedih kembali. 

"Jaga dirimu baik-baik ya Na, gak usah disebut kamu tau apa yang aku rasa." Lalu dia hanya menatap mataku dalam sedalam semesta yang entah ujungnya dimana lalu tersenyum lagi. Semuanya terlihat mudah sekali untuk dijalani, karena dia membuat semuanya menjadi mudah. Bukannya tidak berat untuk melepas pergi seseorang yang begitu penting untuk satu sama lain, tetapi untuk apa dibuat susah jika semuanya bisa saja dijalani dengan ringan dan mudah? 

Air mataku mulai berlinang juga akhirnya. Seperti ada tanggul yang bocor, air mataku terjun bebas deras begitu saja dan tidak bisa ditahan, dan diapun memelukku. Mencium keningku, dia berkata,

"Na, kita bakal ketemu lagi ko pasti, hanya kita sama sama belum tahu kapan. Dan ketidaktahuan itulah yang membuat kita takut. Dan ketakutan itulah yang membuat kita sedih."

Aku terdiam sejenak... 

"Kalau Juni aku pulang ke Indonesia dan kamu juga lagi bisa ketemu di Jakarta, please do call me Fif."

"Iya Na."

Aku tidak tahu apa yang terjadi dan mengapa aku kembali ke fase fragile. Tetapi aku tidak bisa bohong, aku benar-benar tidak bisa melepaskannya. Akhirnya lonceng dibunyikan dan para penjaga pintu gerbong meminta semua penumpang agar naik dan terduduk rapih di dalam kereta. Dan pada saat itu aku hanya bisa menatap dan terdiam saat melihat dia pergi. Inginnya aku, meneriakan namanya agar dia menengok kebelakang dan berubah pikiran agar dia ... tinggal disini saja dan tidak kemana-mana. Agar semuanya mudah.

Tapi aku tidak bisa egois bukan? Akupun harus pergi. 

Jadi, disitulah aku terakhir melihatnya, memeluknya. Pelukan yang benar-benar penuh emosi dan penuh kenangan. Untuk terakhir kalinya aku merasakan nyamannya keberadaannya, aman. Seakan semuanya akan baik-baik saja meskipun tidak demikian. 

Dia tidak menengok kebelakang lagi, mungkin itu untuk yang terbaik. Biar saja aku yang menatapnya dan meratapi sensasi tersendiri melihat kepergian itu. Biar saja aku yang merasakannya. Sampailah pada akhirnya dia hilang dan membaur bersama latar belakang, dan dengan begitu saja semuanya usai.

Terakhir, untuk dikenang.


No comments: