My photo
Currently seeking therapy through literature. Wrote a novel once, Eccedentesiast (2013), and will proceed on writing casually. Don't take these writings seriously, don't let it question yourself.

Friday, April 19, 2013

Untuk Neptunus dan Semua Perahu Kertas Kugy

Jam dinding ruang TV sudah menunjukan jam 2 pagi. Laptop juga dari tadi sudah berisik mengingatkan "it's two o clock." (Thanks Oom Steve Jobs atas kecanggihan teknologinya. hehe.) Mata ini, yang telah lelap sangat lama seperti orang mati suri kemarin hari, sudah lelah menutup sehingga akhirnya memutuskan untuk terjaga saja malam subuh ini. 

Info saja, bahwa bukan kebiasaan aku untuk menulis mengenai ulasan karya orang lain. Biasanya yang bersangkut paut mengenai karya orang lain hanya batasan sebuah respond or inspired by. Tapi berbeda dari biasanya, untuk yang pertama kali aku ingin mengulas film Perahu Kertas 1 dan 2 yang diangkat dari buku karya Dewi Lestari -tante Dee. Satu penulis favorite aku semenjak kelas dua SMP. 

Yes, I know. "Telat banget sih lo baru nonton filmnya sekarang." Betul. Saat premier film itu keluar dan semua remaja labil di Indonesia langsung menyerbu bioskop, aku hanya diam saja dan tidak terlalu perduli akan fenomena ini. Yang aku lakukan hanyalah bertanya kepada teman-temanku bagaimana filmnya, dan mereka bilang "bagus." Karena respon yang begitu saja, aku pikir filmnya juga begitu saja. Sehingga aku yang tadinya sangat excited untuk menontonpun, meredup. 

Setelah sekian lama seling waktu dari pertama kali film itu ditayangkan di bioskop, hari ini aku menemukannya di Youtube secara gratis (oops?) Mengingat insomniaku yang memutuskan untuk menggantungiku hari ini, aku juga memutuskan demikian untuk menggantung mataku pada film ini hari ini juga. Dan aku tidak menyesal. 
Dan sama sekali mereka salah, film ini bukan bagus.
Film ini hampir cliche, dengan caranya sendiri. Dengan sedemikian cara entah bagaimana film yang jatuhnya sebenarnya ringan, telah sedemikian rupa di olah oleh penulis dan direktur film agar bisa mendirikan bulu kuduk para penonton. 

Film ini tidak bagus, namun buat aku luar biasa. 

Entah bagaimana, atau karena aku pernah merasakan berada di posisi keduanya (Kugy dan Keenan), aku jadi bisa lebih menyatu dengan apa yang sang penulis ingin sampaikan melalui film ini. Bukan sekedar entertainment biasa, namun cara pemikiran yang mendidik agar menjadi lebih dewasa dalam melakukan pilihan-pilihan hidup. Terutama pilihan yang ada sangkut pautnya dengan hati. Pilihan untuk "bertahan? [atau] lepas? [adalah] hati [kita] yang menentu." Pilihan untuk melepas bukan hanya untuk kebahagiaan kita, namun juga kebahagiaan mereka adalah sebuah pilihan dan pikiran yang sangat dewasa. Meski mereka berkata bahwa semuanya yang masa lalu akan terus menjadi masa lalu dan detik ini "aku sayang kamu." Namun ...

"Hati itu ndak milih. Hati itu dipilih. Kalo selamanya [kamu] disini sama [aku], selamanya juga [kamu] tidak tulus. [Aku] gak mau jadi bayang bayang." 

Pilihan untuk melepas karena tahu bahwa itu adalah solusi terbaik meskipun akan menyakiti kedua belah pihak. Namun kalau "kita paksa[kan], kita akan sama-sama sakit." Dan dengan demikian guys, film ini benar-benar sudah membuka pikiranku menjadi orang yang lebih dewasa dalam membuat keputusan. Apalagi yang bersangkut paut dengan kisah cinta remaja. 

"[Kamu] pernah ada saja sudah cukup. [Kamu] ndak kembali juga ndak apa-apa"
"Laut atau engga. Gak semua cerita bisa happy ending."

Thanks tante Dee.
cheers.

No comments: