My photo
Currently seeking therapy through literature. Wrote a novel once, Eccedentesiast (2013), and will proceed on writing casually. Don't take these writings seriously, don't let it question yourself.

Sunday, March 31, 2013

Rumit

Aku memang bukan anak IPA yang mengerti teori atom dan mempelajari semesta.
Aku memang bukan anak orang kaya yang bisa membelikanmu bahagia kapan saja.
Aku memang bukan seorang jenius yang bisa menjawab semua pertanyaan,

dan aku harap aku cukup menjadi diriku agar kamu memang tetap menyayangiku seperti ini.

Atau aku harus seperti apa agar setidaknya kamu menatapku dengan perasaan?
Seperti perasaan yang terpancar dari kedua buah mataku saat aku melihatmu. 

Akhir-akhir ini aku merasa hilang. Entah karena jarak atau waktu yang tidak pernah pas. Atau memang aku membiarkan diriku hilang dalam komplikasi aneh ini? Aku merindukanmu. Sudah lama aku ingin menulis lagi, menceritakan isi hati yang hilang ini. Namun... mungkin karena luapan yang tertahan terlalu banyak, aku tidak tahu harus memulainya dari mana.

Yang aku tahu, sekarang, dengan jelas aku takut. 

Setiap pertemuan akan selalu berakhir pada perpisahan. Entah itu hari ini, esok, lusa atau kapanpun hanya Tuhan yang tahu. Dengan berbagai alasan, jiwa dan raga akan berpisah, sama seperti nanti kita, aku dan kamu. Aku takut merasakan kehilangan itu lagi untuk yang kesejuta kalinya. 

Lagi-lagi pernah aku katakan bahwa bukan saat melihatmu menjauhlah yang menyakitkan, namun apa yang kemudian waktu datangkan kepadaku. 

Menurutku, dunia ini bukan dibangun oleh partikel atom yang mereka pelajari di pelajaran Fisika, atau Kimia (entah). Menurutku, dunia dan kehidupan ini dibangun oleh pintu-pintu kemungkinan dan dimensi waktu yang sedemikian rumitnya teratur. Membentuk jalan hidup masing-masing miliaran manusia di bumi. Sehingga telah terencanalah semuanya, seperti kapan apel itu akan jatuh pada kepala Newton. 

Atau kapan Hitler akhirnya kalah pada Rusia.

Atau kapan gedung WTC di Amerika dirubuhkan.

Atau kapan kita bertemu.

Atau kapan kita berpisah.

Atau kapan aku runtuh lagi karena alasan yang sama, yang berulang kali telah terjadi, yang begitu lagi, yang begini saja.

Dan kita tidak pernah tahu mengapa, karena memang mengetahui alasannya tidak akan merubah apapun yang sudah direncanakan Waktu dan Tuhan. Juga, kita tidak akan pernah tahu apa yang ada dibalik pintu yang kita pilih. Tetapi sekali lagi, perpisahan adalah sebuah kepastian meskipun kepastian yang ada hanyalah ketidakpastian itu sendiri. 

Mengerti mengapa semuanya terlihat sangat rumit?

Tetapi pada detik yang benar-benar sekarang, bukan satu detak yang lalu atau di depan, aku ingin menjalani hari-hariku dengan seharusnya. 
Dan berhenti khawatir,
atau menyesal.
Tetapi dengan bersyukur.

Setidaknya sekarang aku masih punya kamu.

No comments: