My photo
Currently seeking therapy through literature. Wrote a novel once, Eccedentesiast (2013), and will proceed on writing casually. Don't take these writings seriously, don't let it question yourself.

Saturday, January 7, 2012

Manusia

Aku bernafas ditengah kematian.

Aku lihat mereka tersenyum,

Tapi mereka disana menangis.

Aku lahir seorang jiwa,

Aku manusia.

Aku seorang jiwa yang terdampar di dalam wujud konkrit ini. Aku bisa menyentuh, aku merasakan mereka yang mati dan kalian yang hidup. Aku melihat hal yang memacu rasa dan pikiran berbeda-beda. Aku berada dimana? Mereka bilang aku tinggal di bumi, apa itu bumi? Mereka bilang penampilanku bagus, apa yang sebenarnya mereka lihat? Mereka bilang aku berumur satu hari, apa itu hari?

Aku berterimakasih,

Telah diperbolehkan Tuan melihat waktu berlari.

Aku berterimakasih,

Telah diperbolehkan Tuan melihat wujud berubah.

Beranjak dewasa, sekarang aku mengerti semuanya. Mereka yang beri cinta dan mereka yang beri benci telah buktikan bahwa hidup itu tidak seindah angan. Pula tidak mudah. Memang tidak ada yang pernah berkata itu, apa lagi di tengah kematian, aku dan lainnya hidup. Apakah ini siklus yang tak kunjung henti? Apakah manusia di perbaharui atau ternyata hanya bermain komedi putar dengan awal dan akhir? Mereka yang menghembus nafas terakhir telah berpindah jiwanya ke bayi itu yang baru lahir. Atau di dalam bayi itu adalah jiwa baru yang suci? Mereka bilang banyak tentang aku, dan aku menentang banyak tentang mereka. Perasaan mengubah pikirannya dalam sepersekian detik. Begitu saja. Apa yang memicu perubahan itu? Sifat orang lain kah terhadap mereka? Perbedaan kah? Apa?

Cinta berkata, kepastian itu adalah suatu yang penting. Tapi jika kau duduk sejenak di bulan dan melihat ke bumi, apakah kepastian itu selalu ada?

Aku dan kamu,

Bisa definisikan diri sendiri.

Aku dan kamu,

Bersama, berdiri di sini.

Tapi aku dan kamu tahu,

Kita semua berbeda.

Pendapat dan perasaan yang berbeda meluap menjadi amarah yang berkerja sama dengan ego. Aku ingin menang. Hanya itu yang tertanam dalam semua pikiran jiwa-jiwa ini. Aku ingin sukses, aku ingin bahagia. Tetapi kadang, kebahagiaan itu kau raih dengan memberi kebahagiaan kepada orang lain. Aku… jujur, adalah seorang manusia yang terkekang keegoisan. Argumen demi argumen yang tak kunjung henti hanya berdiri di situ mentertawakan aku dan kamu yang sedang berbeda pendapat. Jawaban apakah yang harus aku ucap? Aku harus bagaimana? Rahasia siapa?

Aku melihat keindahan,

Aku ingin meraih mereka.

Aku mendengar melodi hati,

Aku ingin beli mereka.

Aku manusia,

Aku ingin semua.

Kadang aku tak bersyukur atas apa yang aku punya. Jika aku lihat mereka, meminta, mengemis di jalan pada saat lampu merah, aku berpaling dengan rasa tak perduli. Aku tidak memperdulikan apa yang aku punya, sampai suatu hari semua keindahan hidup menjadi kehampaan. Setelah sadar, aku sedang jatuh dalam sebuah lubang kelinci yang dalam. Aku harus keluar dan meraih awan lagi.

Dalam kedalaman ini, bisikan iblis memercikan api benci pada Tuan. Pilihan ada di tangan kita, antara kembali bersyukur atau hanya menyerah dan berbuat tiada. Aku tak tahu apa yang akan terjadi jika aku terus di sini, maka aku meraih tangan Tuan dan memulai bersyukur. Atas kepedihan, kehampaan dan kesenangan yang biasa saja dibanding mereka yang di atas, aku tetap bersyukur.

Tuan tolong,

Aku berada dimana?

Tanah kering yang tak tahu seberapa

Membentang tanpa henti

Infinitif.

Aku menuju cahaya,

Tetapi kegelapan menjadi bayanganku.

Aku kemana?

Aku berawal sebuah nafas, aku pula berakhir sebuah nafas. Nafas di bumi. Itu aku dan jiwaku. Tetapi di gurun ini, aku telah memulai jiwa dari bayi. Tidak suci, membawa berat beban dosa duniawi. Aku tak tahu harus mengikuti cahaya yang entah menuju ke mana. Pula bayangan yang tak lengah membuntuti. Aku hanya sendiri, dengan bisikan suara aneh berbagai macam bahasa. Aku mendengar doa mereka di bumi. Aku mati.

No comments: