Kalau hari Sabtu pagi
sekitar jam 6.00-7.00 WIB biasanya mahasiswa sih masih entah hilang di dimensi lain atau mimpi ketemu sama
gebetan. Kalau gue Sabtu kemarin, 8 November 2014 jam 6.00WIB udah di jalan
menuju Jl. Thamrin, Jakarta. I was on my way to a prestigious seminar in
attempt to expand my knowledge about some deep sh.t like politics, education
system in Indonesia and anti-corruption discussions. Tujuannya adalah
menjadi mahasiswa yang aktif dan ingin berpartisipasi dalam memajukan bangsa
Indonesia. Sebagai generasi muda yang akan melanjuti, memperbaiki, dan
memperbaharui jejak-jejak ‘ayah’ dan ‘ibu’ negara yang masa pensiunnya akan
datang sebentar lagi.
My thoughts sparked through my mind as I was wandering on
the way to the venue. Maklum
karena selama kuliah gue ngekos diluar kota dan tidak lagi berjumpa dengan tall buildings and skyscrapers. Selama di
jalan yang gue pandangin benar-benar adalah langit biru yang keindahannya
dilucuti oleh God-knows-how-many-storeys
buildings. Bangunan-bangunan kantor yang tingginya hampir selangit tertanam
keras bersama fondasinya di tanah negara ini, dimana-mana. Beda sama lokasi kos
gue yang kalau mengintip sedikit keluar, pemandangannya adalah gunung-gunung
tinggi yang pucuknya mengecup halus rembulan. Kemudian, it didn’t stop there. People, human, we keep building more and more
ignoring the fact that in the other side we are distructing mother nature.
Juga bukan ketinggiannya yang membuat gue merasa amazed tapi bagaimana bangunan itu menjadi simbol atau cerminan ibu
kota Jakarta. Semakin tinggi jabatan lo artinya semakin tinggi juga lantai
kantor lo. Which leads me to another
thought, Jakarta’s lifestyle.
So contradictive, so opposite of each other and like oil
and water they cannot dissolve. And probably this happens to the entire world,
but holy sh.t Jakarta’s lifestyle is so messed up. Pantes aja orang-orang di Jakarta banyak yang stress
atau depresi (contoh: CEO yang bunuh diri loncat dari Skye). Because of the lifestyle and society that’s so
demanding. Everything in Jakarta is overpriced and super expensive. You have to
be middle to upper class rich to survive. Entah sistem ekonomi apa yang
berlaku di Indonesia, tapi sepengelihatan gue adalah kapitalis. Consumerism, going to the mall is included
as hanging out. Nongkrong padahal gak selalu harus di mall, tapi sekarang
anak SMP aja udah nongkrong di Starbucks. Rich
ass kids wearing leather bodycon and heels going to the mall, showing their
thighs with super mini skirts. Lamborghinis everywhere, ferraris and on your
right side ada pengemis lagi ketuk-ketuk kaca mobil minta uang Rp 500,- dan
gak di kasih. This is both lifestyle and
society’s morale that is lower than... I don’t even know. Some of the people
are so ignorant, corrupted and inconsiderate. “Jakarta keras boss!” itu
betul.
And out of so many things to whine about Jakarta, my
utmost complaint goes to it’s traffic. Astaga kalau udah ngomongin macetnya Jakarta bisa bikin
naik darah banget. Bayangin, kalau malam sabtu, malam minggu, senin pagi, or every other day and night, lo bisa
tua di jalan sendiri. Dari Bekasi ke Jakarta yang biasanya hanya memakan waktu
45 menit atau maksimal satu jam, makin kesini bisa-bisa 2 jam. Udah kaya
Jakarta ke Bandung. Kadang kalau pake ujan dan banjir bisa 3 jam sendiri, udah
kaya Jakarta ke Jatinangor. Oh my God!
Sampai-sampai akhirnya
karena gue kebanyakan ngedumel, gue jadi sadar kalau sebenarnya memang ini apa
adanya Jakarta. Ibu kota tercinta yang liar nan sibuk. Hectic udah kaya di Wall Street, Amerika. Mungkin ini versi
mininya. Jakarta as it is, I believe will
change one day either to the better or the worse (I expect nothing), will
forever be Jakarta. Sampai-sampai gue lupa sendiri kalau sebenernya the night ligts in Jakarta are beautiful seperti bintang-bintang kelap-kelip di semesta sana. Batavia, salah satu lokasi beraktivitas para pejuang
jaman dulu dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Yang menjadi tempat terjadinya
transaksi jual beli saham, yang menjadi tempat gue sendiri hang out sama temen-temen semasa SMP dan SMA. Tempat yang akan
selalu gue rindu, despite all the
bullsh.ts that it throws at me. The food, the fashion, the business, the –what
ever you are looking for is available in Jakarta. I have lived so many years amongst Jakarta and its area, its people and
its society. So many things to protest against what Jakarta has to offer me.
But this is what it is, Jakarta.
Memang benar, terkadang hal-hal yang
menyebalkan justru menjadi hal-hal yang sangat dirindukan.
Jatinangor,
10 November 14
*This post was made not to offend any particular people or organisations or groups, etc.
No comments:
Post a Comment