Ada sebuah kala dimana alat
perekat di bawah kakiku sepertinya sudah tidak berfungsi dengan baik lagi.
Beberapa kali aku mencoba mendaki rintangan vertikal di ruangan ini, dan
berkali-kali aku membiarkan gravitasi memelukku kembali. Membiarkan kekuatannya
membanting badanku, memperbolehkannya menghantam ringannya tubuhku yang dingin
ini ke dasar ubin putih di kamar nona kecil.
Sering kali, hal ini aku
anggap sebagai sebuah rintangan. Karena aku sadar aku tidak bisa selalu
menyalahkan dunia (atau kakiku) jika ada sebuah suatu berjalan ke lain arah
dari pada arah tujuan. Aku cari pijakan mana yang luput dari pandangan, dan
langkah-langkah apa yang membuatku terpeleset ke jurang? Sering kali aku
berdiam di bawah tempat tidur nona kecil (yang ukurannya berjuta-juta kali
lebih besar dari pada diriku) untuk merenung dan berfikir. Aku merasa seperti manusia
biasa di bumi di bandingkan dengan semesta alam yang mewahnya tidak terjangkau
ini. Kadang aku tidak menemukan kesalahan dari langkahku, sehingga, dengan
hanya modal nekat dan genggaman erat pada harapan, aku melangkah lagi dan lagi.
Ada sebuah kala dimana aku
menanjakki sesuatu yang memantulkan bayanganku. Kaca namanya. Rintangan yang
lebih berat dibandingkan wallpaper pink kamar nona kecil yang bercorak garis
pink putih dan berbunga. Dan pada hari ini diriku yang ringkih dan sering
diabaikan ini, dengan modal nekat dan genggaman erat pada harapan, mencoba
mendaki gunung Everest. Aku percaya pada diriku sendiri bahwa kali ini aku akan
mencapai puncak dan dari detik itu seterusnya, semuanya akan lebih baik dan
lebih indah di atas. Pikiranku tertuju pada fantasi akan indahnya berada di
atas sehingga tak terasa, aku sudah hampir sampai! Tetapi…
Sering kali, aku kembali lagi memberikan izin pada gravitasi
untuk menarik badanku yang tipis dan dingin ini ke ubin putih kamar nona kecil,
yang sedang tersedu memandang dirinya sendiri.
No comments:
Post a Comment